Telusur.co.id -Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI, Universitas Ahmad Dahlan
Dalam Rakor Pengendalian Inflasi Daerah 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pentingnya mempercepat realisasi belanja daerah agar ekonomi tetap tumbuh. Ia menyoroti dana pemerintah daerah yang mengendap hingga ratusan triliun rupiah di kas dan deposito bank. “Uang jangan tidur,” ujarnya. “Kalau uangnya bergerak, ekonomi ikut hidup, masyarakat merasakan manfaatnya.”
Pernyataan itu terdengar wajar, bahkan menggugah kesadaran banyak kepala daerah. Namun di balik seruannya, tersimpan pertanyaan menarik: apakah uang benar-benar bisa “nganggur”? Bukankah dalam sistem ekonomi modern, uang yang tersimpan di bank sekalipun tetap bergerak, memutar roda ekonomi melalui mekanisme kredit dan investasi?
Inflasi menjadi tema besar dalam forum itu. Purbaya menjelaskan, inflasi yang terkendali adalah kunci stabilitas sosial dan politik. Sekilas tampak aneh—karena inflasi sering diartikan sebagai kenaikan harga dan turunnya nilai uang. Namun dalam logika ekonomi makro, inflasi rendah justru menandakan keseimbangan. Ketika harga-harga stabil, masyarakat merasa tenang, pelaku usaha bisa merencanakan produksi dengan pasti, dan pemerintah tidak perlu menenangkan keresahan sosial. Sebaliknya, lonjakan harga pangan atau energi sering kali menjadi pemicu gejolak politik di banyak negara.
Untuk menjaga inflasi tetap terkendali, pemerintah dan bank sentral mengandalkan suku bunga acuan. Ketika inflasi naik, bunga dinaikkan agar konsumsi menurun dan masyarakat terdorong menabung. Jika inflasi 7 persen, bunga acuan biasanya sedikit di atasnya, misalnya 8 persen, agar nilai uang tidak tergerus. Sebaliknya, ketika inflasi turun, bunga acuan bisa diturunkan agar pinjaman murah dan aktivitas ekonomi menggeliat lagi. Karena itu, menekan inflasi berarti menjaga bunga acuan tetap rendah, dan ini menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Masalahnya, dari sudut pandang daerah, cerita inflasi dan bunga acuan ini terasa jauh. Yang terlihat nyata adalah dana APBD yang belum terpakai, entah karena proses administrasi yang lambat atau karena pembayaran proyek memang dijadwalkan di akhir tahun. Di sinilah muncul istilah “uang daerah menganggur”. Padahal, dana yang ditempatkan di bank, terutama bank daerah, tidak serta-merta tidur. Begitu dana itu masuk ke sistem perbankan, ia menjadi likuiditas yang bisa disalurkan dalam bentuk kredit produktif kepada pelaku usaha lokal.
Artinya, uang itu tetap bekerja, meski bukan dalam bentuk proyek pembangunan fisik. Ia menjadi darah yang mengalir di tubuh ekonomi, membantu UMKM, petani, pedagang, hingga pelaku industri kecil untuk berputar. Bahkan bila belum terserap sepenuhnya, dana tersebut bisa ditempatkan dalam Surat Berharga Negara (SBN), yang pada gilirannya membiayai kegiatan ekonomi nasional.
Paradigma yang ditawarkan Purbaya sesungguhnya berpijak pada semangat pembangunan daerah: uang daerah sebaiknya menghidupkan ekonomi lokal, bukan sekadar memperkuat neraca perbankan di Jakarta. Jika dana Pemda ditempatkan di bank pusat, maka manfaat ekonominya bisa jadi “keluar” dari wilayah tersebut. Namun jika di BPD, potensi kredit dan perputaran uang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat setempat.
Namun, ada juga cara pandang lain: selama uang itu produktif, di mana pun ia berada, maka efek ekonominya tetap menyebar. Masyarakat yang membutuhkan kredit tidak hanya meminjam dari BPD, tapi juga dari BRI, BNI, atau bank swasta lain. Dalam situasi ini, uang daerah yang disimpan di bank nasional tidak serta-merta “hilang dari daerah”. Justru bisa terjadi aliran balik, ketika kredit usaha dari bank pusat masuk ke sektor riil di wilayah tersebut.
Paradigma pertama menekankan lokalisasi manfaat, sementara paradigma kedua menekankan efisiensi makro. Keduanya sahih, hanya berbeda fokus. Satu menekankan pemerataan dan kemandirian daerah, yang lain menekankan optimalisasi uang dalam skala nasional.
Kalaupun masih ada dana yang tertahan di kas daerah, sebagian bisa dimaklumi. Banyak proyek pemerintah baru bisa dibayar setelah verifikasi administrasi rampung di akhir tahun. Tetapi yang perlu diawasi adalah selisih dana yang tidak tercatat jelas, seperti yang disinggung Purbaya, antara Rp234 triliun dan Rp216 triliun di data Pemda. Selisih 18 triliun bukan angka kecil. Bila itu akibat kesalahan pencatatan, harus diperbaiki. Bila ada penyalahgunaan, perlu ditindak.
Jadi, persoalan bukan sekadar uangnya “tidur” atau “bergerak”, tapi bagaimana transparansi dan efektivitasnya. Dalam ekonomi modern, sejatinya tidak ada uang yang benar-benar diam. Bahkan uang yang disimpan di bawah bantal pun berpengaruh, ia mengurangi jumlah uang beredar dan menekan inflasi. Apalagi uang yang berputar di bank: ia memberi bunga, menyalurkan kredit, dan menopang aktivitas ekonomi.
Yang perlu dijaga bukan sekadar kecepatan belanja, tapi arah dan dampaknya. Uang publik seharusnya tidak hanya mengalir cepat, tapi juga cerdas: memberi manfaat nyata bagi masyarakat, baik lewat pembangunan infrastruktur maupun perputaran sektor riil. Karena dalam ekonomi yang sehat, setiap rupiah tidak hanya harus bekerja, tapi juga harus bekerja dengan benar.



