Telusur.co.id -Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.
Dalam pusaran konflik berkepanjangan di Palestina, masyarakat dunia kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa yang bisa dilakukan untuk menunjukkan solidaritas dan menolak ketidakadilan? Salah satu jawaban yang mengemuka adalah gerakan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Meski tampak sederhana, pilihan konsumen ini sesungguhnya menyimpan makna politik, moral, sekaligus kemanusiaan yang sangat dalam.
Gerakan boikot bukanlah hal baru. Dalam sejarah, boikot terbukti menjadi instrumen perlawanan tanpa kekerasan yang efektif. Kita mengenang boikot bus Montgomery pada tahun 1955 di Amerika Serikat yang menjadi tonggak gerakan hak sipil.
Begitu juga boikot internasional terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan yang turut mempercepat runtuhnya diskriminasi sistematis. Dalam konteks hari ini, boikot produk terafiliasi Israel merupakan bentuk tekanan moral dan ekonomi terhadap pihak-pihak yang dianggap mendukung penindasan rakyat Palestina.
Ada tiga alasan utama mengapa boikot penting dilakukan. Pertama, aspek moralitas kemanusiaan. Konsumsi bukan sekadar tindakan ekonomi, tetapi juga refleksi nilai yang kita junjung. Dengan menghindari produk yang terafiliasi Israel, kita sedang menegaskan sikap bahwa kemanusiaan lebih utama daripada keuntungan sesaat.
Kedua, aspek politik global warga sipil. Masyarakat biasa memang tidak punya kuasa untuk duduk di meja perundingan atau menekan kebijakan luar negeri. Namun, melalui keputusan kolektif dalam memilih atau menolak produk, masyarakat sipil bisa mengirimkan pesan kuat kepada korporasi multinasional dan pemerintah yang terlibat. Boikot menjadi cara sederhana, namun nyata, bagi publik untuk ikut serta dalam perjuangan keadilan internasional.
Ketiga, aspek kesadaran ekonomi nasional. Gerakan boikot justru membuka peluang bagi tumbuhnya produk lokal. Konsumen yang berpaling dari produk-produk asing yang terafiliasi dengan Israel akan lebih terdorong untuk mendukung produk buatan dalam negeri. Ini selaras dengan agenda kemandirian ekonomi nasional, sekaligus menumbuhkan rasa percaya diri bahwa bangsa kita bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Tentu, boikot bukan tanpa kritik. Ada yang berpendapat bahwa boikot tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kebijakan negara sebesar Israel. Namun, kita tidak boleh meremehkan akumulasi dari solidaritas global. Jika kesadaran boikot hanya dipandang sebelah mata, maka apartheid di Afrika Selatan mungkin tidak akan pernah runtuh. Lagi pula, boikot bukan hanya soal melemahkan ekonomi lawan, tetapi juga memperkuat kesadaran kolektif dan meneguhkan nilai kemanusiaan di hati masyarakat luas.
Kini, di era digital, boikot tidak berhenti pada memilih produk. Gerakan ini bisa diperluas dengan edukasi publik, penyebaran informasi yang faktual, dan advokasi kebijakan yang lebih adil. Pada akhirnya, konsumen bukan sekadar objek pasar, melainkan subjek sejarah yang menentukan arah dunia.
Gerakan boikot produk terafiliasi Israel adalah cermin bahwa solidaritas tidak hanya lahir di medan perang atau meja diplomasi, tetapi juga di keranjang belanja kita. Pilihan konsumen bisa menjadi senjata moral untuk menegakkan keadilan. Dan ketika jutaan orang di seluruh dunia membuat pilihan yang sama, suara itu akan bergema lebih keras daripada senjata mana pun.
Boikot produk terafiliasi Israel bukan sekadar pilihan konsumsi, tetapi sikap moral, politik, dan kemanusiaan yang menegaskan keberpihakan pada keadilan. Meski tampak sederhana, gerakan ini memiliki kekuatan simbolik dan praktis untuk memberi tekanan terhadap praktik penindasan, membangun solidaritas global, sekaligus memperkuat perekonomian nasional melalui dukungan terhadap produk lokal. Dengan demikian, boikot menjadi instrumen perlawanan tanpa kekerasan yang relevan, etis, dan berdampak, terutama di tengah krisis kemanusiaan yang menuntut aksi nyata dari setiap individu.



