Oleh: Suroto
Sejak Undang-Undang Cipta Kerja diundangkan, arah kebijakan investasi Indonesia mengalami perubahan fundamental. Salah satu sektor yang terdampak paling nyata adalah jasa transportasi. Melalui regulasi turunan UU Cipta Kerja, sektor transportasi dicabut dari Daftar Negatif Investasi dan dibuka sepenuhnya bagi modal asing. Negara seolah menarik diri, pasar dilepas, dan investasi asing dipersilakan masuk tanpa sekat berarti.
Narasi resminya sederhana, investasi akan mendorong efisiensi, memperbaiki layanan, dan menciptakan lapangan kerja. Namun realitas di lapangan menunjukkan cerita yang jauh lebih kompleks, bahkan problematik. Masuknya modal besar asing dengan dukungan teknologi, insentif fiskal, dan kekuatan finansial telah menyingkirkan banyak pelaku usaha transportasi lokal yang tidak memiliki daya saing setara. Bukan karena mereka malas atau tidak inovatif, melainkan karena lapangan pertandingannya tidak lagi sebanding.
Namun masalah transportasi tidak boleh direduksi sekadar sebagai persoalan “matinya” perusahaan nasional atau lokal. Transportasi adalah urat nadi kehidupan rakyat. Ia menyangkut hajat hidup orang banyak, mobilitas pekerja, distribusi barang, serta akses masyarakat miskin terhadap layanan dasar. Ketika sektor ini sepenuhnya ditundukkan pada logika pasar bebas dan akumulasi modal, maka yang pertama kali terpinggirkan bukan hanya pengusaha nasional atau lokal, tetapi juga pekerja dan konsumen.
Kita menyaksikan bagaimana kesejahteraan pekerja transportasi pengemudi, kru, pekerja informal tetap rendah di tengah valuasi perusahaan yang melambung. Konsumen pun tidak sepenuhnya diuntungkan. Tarif bisa murah di awal, namun ketika kompetisi dimatikan dan pasar dikuasai segelintir pemain besar, harga dan layanan sepenuhnya berada di tangan pemodal. Inilah wajah klasik liberalisasi: kompetisi semu di awal, oligopoli di akhir.
Masalah pokoknya adalah liberalisasi investasi yang abai pada mandat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi berarti produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pengawasan semua. Bukan oleh segelintir korporasi global.
Karena itu, jawaban atas persoalan transportasi bukanlah proteksionisme sempit atau nostalgia pada monopoli pelaku usaha nasional. Justru sebaliknya, yang dibutuhkan adalah demokratisasi investasi. Investasi tidak boleh dimonopoli oleh kapital besar, baik asing maupun domestik. Ia harus dibuka seluas-luasnya bagi keterlibatan rakyat secara riil.
Salah satu akar masalahnya terletak pada rezim hukum penanaman modal yang mewajibkan investasi asing berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Model ini secara inheren kapitalistik karena segala keputusan ditentukan oleh pemodal, suara ditentukan oleh besarnya saham, dan orientasi utamanya adalah akumulasi laba. Dalam kerangka ini, pekerja dan konsumen selalu berada di luar lingkaran pengambilan keputusan.
Sudah saatnya negara berani membuat terobosan regulasi. Industri transportasi harus diatur untuk wajib berbentuk badan hukum koperasi publik. Koperasi publik bukan koperasi semu atau koperasi papan nama, melainkan koperasi terbuka yang melibatkan pekerja, pengguna jasa, dan negara sebagai pemilik bersama. Ini bukan langkah mundur, melainkan lompatan ke depan menuju ekonomi modern yang berkeadilan.
Gagasan ini tidak melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha. Pasal 50 dan 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 secara jelas memberikan pengecualian bagi koperasi dan BUMN untuk monopoli, sepanjang ditujukan bagi kepentingan umum. Mengapa? Karena koperasi adalah badan hukum terbuka dan demokratis, sementara BUMN mengemban kewajiban pelayanan publik (public service obligation).
Skema yang adil dan realistis adalah pembagian kepemilikan 60 persen untuk rakyat yang terdiri dari pekerja, konsumen, serta negara/BUMN dan 40 persen untuk swasta kapitalis, termasuk investor asing. Dengan struktur ini, modal tetap masuk, inovasi tetap berjalan, tetapi kekuasaan tidak sepenuhnya jatuh ke tangan pemodal besar. Pekerja dan konsumen memiliki suara nyata, bukan sekadar perwakilan simbolik melalui asosiasi yang sering kali hanya menjadi kamuflase partisipasi.
Momentum politiknya kini terbuka. Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyatakan perang terhadap ekonomi serakah. Jika pernyataan ini ingin bermakna struktural, maka sektor transportasi adalah titik masuk yang strategis. Merombak cara kita berbisnis bukan berarti anti-investasi, melainkan memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi menghasilkan kesejahteraan bersama, bukan kekayaan segelintir elite investor.
Demokratisasi investasi di sektor transportasi adalah ujian keberanian negara. Apakah kita tetap tunduk pada dogma pasar bebas, atau kembali pada ekonomi konstitusi yang menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Sejarah akan mencatat pilihan itu.[***]
*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)



