Gelar Insinyur dan Kepercayaan yang Kembali Dicari - Telusur

Gelar Insinyur dan Kepercayaan yang Kembali Dicari


Telusur.co.id -Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.

Beberapa tahun terakhir, banyak sarjana teknik yang sudah lama bekerja tiba-tiba kembali ke kampus. Bukan untuk mengambil S2, melainkan mengikuti program yang namanya agak rumit: Rekognisi Pembelajaran Lampau Insinyur. Tujuannya sederhana, ingin kembali menyandang gelar Insinyur (Ir.), gelar yang dulu melekat di hampir semua lulusan teknik sebelum berubah menjadi S.T. (Sarjana Teknik).

Menariknya, mereka yang datang bukan anak muda yang baru lulus. Kebanyakan sudah beruban, sudah lama malang melintang di proyek, bahkan ada yang jadi pemilik perusahaan sendiri. Mereka datang membawa tumpukan portofolio: gambar kerja, laporan proyek, desain, hingga foto-foto saat memimpin pekerjaan di lapangan. Di hadapan asesor, mereka tidak sedang ujian teori, tetapi seperti sedang menceritakan perjalanan panjang mereka sebagai insan teknik.

Mengapa mereka rela mengeluarkan uang hampir delapan juta rupiah untuk gelar yang dulu didapat gratis saat wisuda? Jawabannya sering kali sederhana dan jujur: “Supaya klien lebih percaya.”

Dalam dunia proyek, kepercayaan adalah segalanya. Sering kali klien, terutama pemerintah atau BUMN, akan bertanya siapa penanggung jawab teknisnya. Jika namanya sudah bergelar “Ir.” dan memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI), urusan jadi lebih mudah. Gelar itu memberi kesan bahwa orang tersebut sudah terverifikasi secara profesional dan siap menanggung tanggung jawab teknis maupun etis dari pekerjaannya.

Padahal, gelar “Ir.” sempat menghilang lama dari kampus. Sejak 1993, pemerintah menyesuaikan sistem pendidikan tinggi dengan standar internasional: S1, S2, S3. Lulusan teknik kemudian bergelar S.T., bukan Ir. Maka, generasi 90-an ke bawah adalah angkatan terakhir yang otomatis menyandang gelar insinyur. Sesudah itu, sebutan itu hanya bertahan di kartu nama para senior.

Baru pada tahun 2014, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Keinsinyuran, yang menghidupkan kembali profesi insinyur secara resmi. Bedanya, kini gelar itu bukan akademik, melainkan profesi,  mirip dokter atau apoteker. Untuk mendapatkannya, seseorang harus melalui program profesi insinyur dan mendaftar ke Persatuan Insinyur Indonesia (PII) untuk mendapatkan STRI.

Bagi kalangan akademik, mungkin gelar ini tidak terlalu berarti. Dosen teknik tetap bisa mengajar tanpa STRI, dan riset mereka tetap dihargai tanpa harus menulis “Ir.” di depan nama. Tapi bagi mereka yang hidup di dunia proyek, gelar ini ibarat lisensi terbang bagi pilot. Ia bukan sekadar hiasan, tetapi bentuk tanggung jawab atas setiap keputusan teknis yang diambil.

Yang menarik, banyak di antara para peserta program RPL ini adalah orang-orang yang sudah kenyang pengalaman, bahkan mungkin lebih mahir dari para pengajarnya. Namun mereka sadar, pengalaman saja tidak cukup tanpa pengakuan formal. Di tengah dunia yang semakin birokratis dan penuh regulasi, legitimasi profesi menjadi semacam jaminan moral: bahwa apa yang mereka kerjakan bukan sekadar pekerjaan, tetapi amanah publik yang harus bisa dipertanggungjawabkan.

Fenomena ini, kalau dipikir-pikir, menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: bahwa profesi teknik di Indonesia sedang tumbuh menuju kedewasaan baru. Gelar “Ir.” kini bukan sekadar kebanggaan, melainkan juga komitmen. Sebuah kesadaran bahwa keahlian perlu diiringi etika, dan pengalaman harus disertai tanggung jawab hukum.

Barangkali, itulah sebabnya banyak yang rela menempuh proses ini meski sudah mapan secara karier. Mereka ingin diakui bukan hanya karena bisa membangun gedung atau jembatan, tetapi karena punya kesadaran untuk menjaga standar profesi.

Akhirnya, gelar “Insinyur” memang kembali dicari. Bukan karena nostalgia masa lalu, tetapi karena di balik dua huruf itu tersimpan makna yang dalam, tentang kepercayaan, tanggung jawab, dan kehormatan bekerja secara profesional.


Tinggalkan Komentar