Mencermati Dampak Eskalasi Ketegangan di Timur Tengah - Telusur

Mencermati Dampak Eskalasi Ketegangan di Timur Tengah

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (foto:istimewa)

Oleh: Bambang Soesatyo (ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Universitas Pertahanan RI (UNHAN) dan Universitas Borobudur)

DURASI dan skala dari konflik Iran-Israel tak sekadar mengeskalasi ketidakpastian, namun juga memengaruhi perubahan dinamika global di hari-hari mendatang. Komunitas internasional, secara tidak langsung, dipaksa untuk mencermati dengan seksama arah konflik kedua negara itu. Mau tak mau, Indonesia pun harus berusaha akurat mengidentifikasi ragam persoalan baru, termasuk memprediksi skenario terburuk dari eskalasi konflik di kawasan Timur Tengah itu.

Di dalam negeri, Indonesia sudah menambah bobot kepastian ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada Rabu (24/4), menetapkan Presiden-Wakil Presiden terpilih dari pemilihan presiden 2024. Penerus kepemimpinan nasional untuk periode 2024-2029 adalah pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil Presiden. Dengan terwujudnya kepastian ini, Indonesia bisa lebih fokus dan cermat menyoroti dampak eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah yang disulut oleh konflik Iran dan Isreal.

Sudah pasti pasti bahwa Indonesia bersama komunitas internasional berharap dan terus berusaha mendorong baik Iran maupun Israel untuk menahan diri, dengan tidak mengeskalasi konflik mereka menjadi perang terbuka menggunakan persenjataan yang dapat menyebabkan kematian massal. Dalam konteks mencegah bencana kemanusiaan akibat konflik kedua negara itu, kontribusi Indonesia melalui pendekatan laku politik luar negeri bebas-aktif tentunya juga dibutuhkan.

Sebab, besar-kecilnya skala konflik kedua negara itu akan selalu menghadirkan ekses. Dan, Indonesia bersama banyak negara pun sudah menerima ekses itu, yang antara lain ditandai dengan naiknya harga minyak. Indonesia, misalnya, harus mencari bahan bakar minyak (BBM) yang murah agar tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun berjalan tidak berlebihan, utamanya pada pos anggaran subsidi BBM.

Selain dampak kenaikan harga minyak mentah, sudah menjadi fakta bahwa Indonesia pun sedang menghadapi lonjakan nilai tukar valuta dolar Amerika Serikat (AS) atau depresiasi rupiah. Proses penguatan nilai tukar dolar AS sudah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir ini, dan memuncak pada April 2024 ketika memasuki level di atas Rp 16.000 per dolar AS. Menguatnya nilai tukar dolar AS selalu menghadirkan tekanan terhadap APBN, utamanya belanja dan subsidi BBM maupun membengkaknya beban bunga pembayaran utang luar negeri.

Maka, seperti halnya banyak negara lain, Indonesia pun harus fokus mencermati ekses atau dampak negatif dari konflik Iran-Israel, termasuk skenario terburuk dari ketegangan di kawasan Timur Tengah. Sebab, disharmoni antar-negara di kawasan itu berpotensi memperbesar skala konflik. Disharmoni itu setidaknya tercermin pada fakta bahwa konflik Israel-Hamas masih berlangsung hingga saat ini, yang menyebabkan penderitaan warga Palestina. Konflik ini terkesan berlarut-larut karena tidak banyak negara di kawasan itu berinisiatif atau mengambil peran mengakhiri konflik itu. Palestina terkesan dibiarkan sendirian, bahkan beberapa negara di kawasan itu menolak para pengungsi dari palestina.

Selain peduli pada aspek kemanusiaan, fokus mencermati dampak negatif dari eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah semata-mata bertujuan memampukan Indonesia meminimalisir ekses dari ragam persoalan yang mengemuka dan tak dapat dihindarkan. Contoh kasusnya adalah dampak kenaikan harga minyak mentah dan dampaknya terhadap proses pelemahan rupiah. Eskalasi ketegangan di Timur Tengah saat ini pun dipastikan mengganggu rantai pasok global.

Depresiasi rupiah selalu menyebabkan nilai impor BBM otomatis membengkak dalam skala yang bisa signifikan. Harga energi yang mahal akan menggelembungkan biaya produksi di sektor industri dan jasa. Kenaikan harga bahan baku industri pun terhindarkan. Dampak lanjutannya adalah kenaikan harga barang dan jasa, termasuk produk impor. Harga bahan pangan pun pasti mengalami kenaikan. Ketika nilai pendapatan masyarakat tetap, kenaikan harga barang dan jasa akan memperlemah daya beli atau konsumsi masyarakat, dengan dampak lanjutan adalah percepatan laju inflasi.

Memasuki pekan ketiga April 2024, harga minyak mentah dunia sudah melonjak. Harga minyak mentah Brent naik 3,5 persen menjadi 90,14 dolar AS per barel. Sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 3,61 persen menjadi 85,80 dolar AS  per barel. Sementara itu, dari posisi rupiah yang kini di level Rp 16.000-an per dolar AS, fluktuasinya di waktu-waktu mendatang dipengharuhi oleh dua faktor, yakni kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), memperlakukan suku bunga acuan, serta durasi dan skala dari konflik Iran-Israel.

Seperti sudah diketahu semua orang, Fed saat ini menerapkan kebijakan suku bunga tinggi. Sedangkan konflik Iran-Israel telah mendorong investor menarik dana dari Indonesia dan negara lainnya. Likuiditas valuta dolar AS yang menipis di dalam negeri serta kebutuhan dolar AS yang menjadi lebih besar untuk impor BBM menyebabkan nilai tukar dolar AS terus menguat.

Gambaran yang diberikan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji, akan membantu semua orang lebih memahami permasalahannya. Dia jelaskan bahwa setiap kenaikan harga minyak mentah dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan berdampak pada kenaikan belanja subsidi energi. Setiap kenaikan satu (1) dolar AS harga minyak mentah berkonsekuensi pada beban subsidi dan kompensasi energi dengan kenaikan sekitar Rp 4,5 triliun. Dan, setiap melemahnya kurs rupiah Rp 100 per dolar AS berdampak pada kenaikan subsidi energi sekitar Rp 2,5 triliun hingga Rp 3,5 triliun.

Sedangkan rata-rata konsumsi BBM nasional dari tahun ke tahun terus meningkat. Per tahunnya, Indonesia butuh tak kurang dari 72 juta kiloliter (KL) BBM. Sayangnya, volume produksi di dalam negeri hanya 39 juta KL. Maka, sisanya harus impor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor BBM pada 2022 mencapai 24,07 miliar dolar AS, naik 67 persen jika dibandingkan nilai impor 2012 yang 14,39 miliar dolar AS.

Menurut BPS, gelembung nilai impor BBM per 2022 disebabkan naiknya harga minyak dan produk minyak. Dari catatan historis ini, siapa pun bisa membuat asumsi tentang beratnya tekanan terhadap APBN tahun berjalan, utamanya pada pos belanja dan subsidi BBM.

Selain persoalan BBM, ketidakpastian sekarang ini juga akan memengaruhi harga bahan pangan di pasar dunia. Dampaknya akan dirasakan konsumen di dalam negeri, karena Indonesia masih impor sejumlah komoditas pangan seperti beras, gandum, gula, daging, jagung hingga kedelai. BPS mencatat bahwa ada kenaikan signifikan nilai impor komoditas pangan di sepanjang tahun 2023.

Tentang durasi dan skala konflik Iran-Israel memang belum dapat diperkirakan. Bagi banyak negara, jauh lebih penting adalah mengkalkulasi dampak konflik itu, utamanya terhadap aspek perekonomian global. Presiden Joko Widodo bersama para menteri pasti bekerjasama dengan tim transisi presiden-wakil presiden terpilih (Prabowo-Gibran) untuk fokus mencermati ragam persoalan yang muncul akibat eskalasi ketegangan di kawasan Timur Tengah.


Tinggalkan Komentar