Paradoks Pendidikan di Indonesia - Telusur

Paradoks Pendidikan di Indonesia


Telusur.co.idOleh : Lira Rifani Yuniar

Setelah saya menulis mengenai “Mahasiswa dalam Kemelut Idealisme dan Pragmatisme”, “Kekerasan Aparat dan Problem Demokrasi di Indonesia”, lalu “Negara di Persimpangan”, saya memikul banyak pertanyaan yang tak kunjung usai di benak saya, tentang apa garis dasar dari permasalahan yang ada, lalu pertanyaan tersebut merambat menjadi pertanyaan pertanyaan mengenai apa poin permasalahan di negeri kita tercinta ini. Hingga pada akhirnya saya tersadar bahwa, Pendidikan adalah poin utama yang dapat mempengaruhi itu semua.

Ada seseorang yang pernah berkata pada saya bahwa; "apa guna pendidikan jika perut saja masih kelaparan?" saya merenung sejenak, dan mempertanyakan dalam hati, apakah pemerintah benar-benar memahami betapa daruratnya kondisi pendidikan di negeri ini? sehingga kelaparan dijadikan alasan seseorang untuk tidak begitu memperdulikan pendidikan, ataukah, selama ini mereka hanya sibuk memoles program-program menawan untuk sebuah laporan, tanpa benar-benar menengok realitas di lapangan?

Sebelum jauh membahas mengenai dampak kesenjangan ekonomi terhadap pendidikan, saya cukup tertarik dengan konsep “Sekolah rakyat” yang digadang-gadang sebagai bentuk kepedulian negara terhadap pendidikan masyarakat serta jawaban atas ketimpangan ekonomi yang mempengaruhi pendidikan. Dimana konsep ini terlihat tampak sangat menjanjikan, namun ketika saya mengamatinya lebih dekat, saya justru menemukan sesuatu yang ganjal mengenai penyaringan untuk masuk ke dalamnya. Mengapa Sekolah Rakyat masih cenderung memilih-milih siswanya melalui seleksi? Mengapa yang disasar justru mereka yang sudah pandai, yang sudah siap, yang sudah memiliki bekal, sementara yang paling tertinggal tetap tertinggal?.

Jika pendidikan adalah hak, lalu mengapa aksesnya masih terasa seperti undian keberuntungan?

Selama ini kita sering mendengar kalimat manis bahwa, negara hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, “bangsa yang mana?” Karena yang saya lihat, sebagian dari kita masih harus memanjat tembok birokrasi untuk sekadar mendapatkan kesempatan belajar. 

Program Sekolah Rakyat yang seharusnya merangkul semua hingga akar justru sering tersendat oleh mekanisme seleksi, syarat-syarat administratif, dan paradigma bahwa hanya mereka yang ‘siap belajar’ yang layak menerima fasilitas. Tidakkah itu bertentangan dengan semangat kesetaraan yang selalu diucapkan dalam pidato-pidato pejabat?.

Di sini saya tidak sedang menghakimi, saya hanya menuliskan kenyataan yang terasa begitu dekat dengan saya. Bahwa sebenarnya akses pendidikan di Indonesia masih bergantung pada jarak, status sosial, fasilitas, dan tentu saja, keberuntungan. Padahal, di sekitar kita, hampir setiap Kelurahan atau bahkan RW memiliki balai, gedung, atau ruang serbaguna yang dibiarkan kosong dan hanya menunggu rapat bulanan yang hanya berlangsung kurang lebih satu jam. 

Lalu, mengapa pemerintah tidak memikirkan untuk menghidupkan ruang-ruang itu?. Sebagai mahasiswa Pendidikan Non Formal, saya membayangkan jika sekolah kesetaraan dilaksanakan langsung di balai-balai kelurahan atau balai RW. Bayangkan bagaimana anak-anak putus sekolah tanpa akses pendidikan bisa belajar di lingkungan mereka sendiri tanpa harus menempuh jarak yang jauh, tanpa harus takut dengan biaya yang mahal, tanpa harus merasa tidak pantas.

Bukankah itu baru bisa disebut sekolah rakyat yang sebenar-benarnya?

Saya berusaha memahami alasan pemerintah untuk menomor-sekiankan Pendidikan, namun semakin saya merenung, semakin saya merasa bahwa, akar persoalan pendidikan kita bukan karena kekurangan anggaran atau fasilitas, atau bahkan alasan karena persoalan ekonomi yang tidak pantas. 

Masalah sebenarnya adalah ketidakmampuan pemerintah untuk berpikir sederhana dalam menyelesaikan sebuah masalah. Mengapa harus memaksakan membangun sekolah baru jika ruang publik sudah tersedia? Lalu, ketika rakyat bertanya mengapa daerah yang tertinggal masih belum mendapatkan akses pendidikan yang layak, mereka beralasan karena tidak ada anggaran. 

Mengapa harus mengeluhkan kekurangan tenaga pengajar jika mahasiswa pendidikan ataupun alumni kampus yang belum bekerja justru sedang membutuhkan pengalaman mengajar, namun terhalang oleh tahapan-tahapan sertifikasi yang begitu rumitnya?. Bukankah lebih efisien jika mereka diarahkan untuk mengabdikan ilmu di daerah mereka sendiri atau di daerah dengan akses yang katanya susah dan tertinggal itu, sekaligus mendapatkan sertifikasi dan pengalaman yang sangat mereka butuhkan?.

Banyak sarjana pendidikan yang menganggur. Mereka tidak kekurangan kemampuan, mereka kekurangan kesempatan. Dan negara sebenarnya memiliki ruang besar untuk memfasilitasi pertemuan antara mereka yang ingin belajar dan mereka yang ingin mengajar. 

Sayangnya, ruang itu dibiarkan kosong dan tak digunakan. Sementara itu, kita terus berbicara tentang bonus demografi, revolusi pendidikan, digitalisasi sekolah, dan istilah-istilah megah lainnya. Tapi apa gunanya semua itu jika rakyat kecil masih harus berhadapan dengan tembok- tembok yang tetap sama. keterbatasan akses, birokrasi yang rumit, dan program pendidikan yang hanya menyentuh permukaan saja?.

Saya menulis ini bukan karena saya merasa paling tahu. Tidak. Saya hanya merasa muak melihat kenyataan bahwa, pendidikan di negeri ini sering dijadikan objek pencitraan, melihat guru dengan gaji pas-pasan yang diagungkan sebagai Pahlawan tanpa tanda jasa meskipun jasa kami tidak dihargai dengan layak. 

Muak melihat Sekolah Rakyat yang hanya mengubah bungkus, bukan isi. Muak melihat negara selalu berbicara soal kesetaraan, tapi tidak mampu merancang model pendidikan yang benar-benar dekat dengan rakyatnya sendiri. 

Saya percaya pendidikan tidak harus mahal. Tidak harus rumit. Pendidikan hanya perlu hadir, dekat, dan manusiawi. Balai-balai yang kosong itu bisa menjadi harapan kecil yang lebih nyata daripada ribuan spanduk bertuliskan “Ayo Sekolah!”. Semua yang kita butuhkan sudah ada. ruangnya, pengajarnya, muridnya, dan kebutuhannya. Yang tidak ada hanya kemauan politik untuk mengeksekusi.

Saya khawatir, jika pemerintah terus mempertahankan pola pikir lama, sistem pendidikan kita akan tetap pada sistem pendidikan yang tidak merangkul, yang paling tertinggal pada akhirnya hanya menjadi proyek bertopeng kepedulian. Dan jika memang negara benar-benar ingin menghadirkan pendidikan untuk semua, sudah saatnya berpikir lebih membumi, dalam artian lebih dekat, lebih merakyat. Sebab masa depan bangsa tidak ditentukan oleh program-program megah yang dilaunchingkan di panggung besar, melainkan oleh ruang-ruang kecil tempat ilmu dipertukarkan tanpa syarat, tanpa seleksi, dan tanpa diskriminasi.

Terakhir, saya ingin sedikit menjawab pertanyaan di awal mengenai pertanyaan "apa guna pendidikan jika perut masih kelaparan", saya rasa jawabannya cukup sederhana di era saat ini. Pendidikan adalah bagian dari jawaban, bukan hal yang harus dikorbankan, dan di saat ini sudah terlanjur ada program bernama Makan Bergizi Gratis (MBG). Jujur saya sedikit berat menuliskannya, namun ya.. faktanya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah terlanjur terjadi (sepakat - tidak sepakat), sudah keburu digelontorkan anggarannya, bahkan uji coba 2025 saja menelan sekitar Rp 7 triliun dari total rencana tahunan lebih dari Rp 70 triliun. 

Jadi di era sekarang ini bukan soal mana yang lebih dahulu, pendidikan atau perut kenyang, keduanya sangat bisa berjalan beriringan, masyarakat hanya dipaksa berhadapan dengan konsekuensi politik yang sudah berjalan. Yang dipertanyakan adalah cara pemerintah mengeksekusi program ini, mengapa harus membuka peluang korporasi besar dan kroni untuk menguasai rantai suplai, padahal ada opsi yang jauh lebih masuk akal dan adil? 

MBG bisa saja dijalankan dengan memberdayakan ibu rumah tangga berpenghasilan rendah sebagai pengelola dapur, memanfaatkan bahan dari petani lokal, dan menjadikan pemerintah hanya sebagai pengawas agar anggaran tidak boncos. 

Tetapi entah mengapa, setiap kali solusi sederhana ini disodorkan, pemerintah selalu punya seribu alasan babibu, seolah masalahnya begitu rumit. Kadang saya merasa, bukan rakyat yang naif, tapi pemerintah yang terlalu lihai menyembunyikan kepentingan di balik keruwetan yang mereka ciptakan sendiri.
Seperti lagu Sumbang karya Iwan Fals "Setan-setan politik kan datang mencekik, walau di masa pacekik tetap mencekik.”

*Penulis merupakan aktivis sosial di Kota Surabaya. Ia menjabat sebagai Menteri Aksi dan Propaganda Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (BEM UNESA), sekaligus Sekretaris Kader Inti Pemuda Anti Narkoba (KIPAN) Provinsi Jawa Timur. Selain bergerak di ranah sosial dan advokasi kepemudaan, penulis juga tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Perguruan Tinggi Provinsi Jawa Timur.


Tinggalkan Komentar