telusur.co.id - Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendorong kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dilakukan secara daring.
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Arfianto Purbolaksono menilai bahwa kampanye daring itu tidak akan berjalan efektif.
Menurut Arfianto, ada dua catatan yang menjadi tantangan bagi kandidat beserta partai politik pendukungnya dalam menggunakan media sosial untuk kepentingan kampanye di Pilkada serentak 2020 ini.
Pertama, tentang cara penggunaan sosial media oleh kandidat. Calon kepala daerah, tidak bisa kampanye di media sosial seperti layaknya kampanye di media konvensional, yaitu dengan hanya komunikasi satu arah.
“Jika diperhatikan penggunaan sosial media dalam kepentingan kampanye di sosial media baru sebatas satu arah. Misalnya, hanya mengandalkan tim media sosialnya untuk posting foto atau video, namun minim interaksi dengan menutup kolom komentar,” kata Arfianto kepada Telusur.co.id, Jakarta, Senin (28/9/2020).
Arfianto memaparkan, seharusnya kandidat harus menggunakan media sosial secara interaktif. Mereka harus berani membuka kolom komentar dan berani tanya jawab. Hal ini sangat penting karena para pemilih juga harus mengetahui visi-misi dan program para kandidat. Dengan demikian, para pemilih juga akan memiliki informasi yang cukup tentang para kandidat yang beklaga di Pilkada 2020.
Di samping itu, Arfianto berpendapat bahwa masih banyak kandidat yang belum memahami bahwa cara menggunakan media sosial secara interaktif. Padahal, hal ini sangat penting untuk memperkuat hubungan dengan pemilih.
“Penting untuk diingat, pengguna media sosial adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Mereka bukan pihak pasif yang hanya menerima informasi yang disampaikan, tapi pengguna media sosial adalah pihak yang juga aktif dan selektif, serta kritis terhadap semua informasi yang disampaikan,” tukas Arfianto.
Selain itu, kata dia penting juga agar kandidat mengemas konten dengan baik agar pesan kampanyenya dapat disampaikan dengan efektif dan diterima oleh para pengguna media sosial. Misalnya, dengan tidak menggunakan berita bohong dalam postingan kampanyenya dan memberikan pesan-pesan menarik yang informatif mengenai kampanyenya berdasarkan data yang valid. “Dengan demikian, para kandidat dapat memanfaatkan pesan kampanye melalui media sosial untuk memobilisasi dukungan kepada mereka,” papar Anto.
Kedua, kata Anto, soal kesenjangan akses internet. Kesenjangan akses internet menciptakan kesenjangan informasi bagi pemilih.
“Kesenjangan internet patut menjadi catatan bagi partai politik dan kandidat, karena pemanfaatan media sosial untuk media kampanye dalam pilkada serentak tidak dapat dilakukan di semua daerah, kecuali di daerah yang memiliki jumlah pengguna internet besar, serta didukung oleh tingkat literasi digital dan infrastruktur yang memadia,” tandasnya.
Oleh karena itu, tambah dia dibutuhkan kreatifitas dari para kandidat untuk menyiasati kondisi ini dan menjalankan strategi kampanye daring yang efektif, ditambah kita masih berada di tengah pandemi Covid-19. [Fhr]