Telusur.co.id -Oleh: Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia (UI) & Direktur Eksekutif Baturaja Project.
Sejak dilantik sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia pada Oktober tahun lalu, Prabowo Subianto dan rezim yang ia pimpin telah membawa garis perubahan yang mendasar pada kebijakan-kebijakan nasional. Kebijakan yang diproduksi rezim Prabowo Subianto sepanjang setahun terakhir memiliki corak tersendiri yang berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Beberapa kebijakan bersifat retrospektif dengan menggiring kembali pemikiran para pendiri bangsa dalam kontekstualitas permasalahan bangsa hari ini. Namun, hal yang paling menonjol tentu saja kebijakan transformasi di segala lini kehidupan. Apakah kepemimpinan Prabowo Subianto dapat menjadi defining moment menyongsong orde baru kebangsaan, orde transformasi?
Penyematan terminologi orde transformasi pada rezim pemerintahan Prabowo Subianto tak dimungkiri sangat bermuatan politis dan membawa konsekuensi besar dalam babakan sejarah bangsa ke depan. Penulis sendiri ketika mencetuskan nomenklatur ini pada beberapa kesempatan diskusi mendapatkan resistensi dari berbagai pihak. Namun bagi penulis, penyematan langgam orde transformasi pada rezim pemerintahan Prabowo Subianto hari ini memiliki basis argumentasi dan rasionalisasi empirik yang jelas. Indonesia sebagai entitas politik dan sosial budaya adalah entitas yang hidup dan senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan tersebut menelurkan fase sejarah kehidupan tersendiri yang menandai perubahan dinamika dan respons terhadap tantangan zaman.
Fase kehidupan bernegara
Ketika orde lama yang terentang sejak 1945 hingga 1966 berganti menjadi orde baru, ada dinamika dan tantangan zaman yang berubah. Orde lama dipenuhi oleh fragmen kebangsaan yang berupaya meredam gejolak resistensi domestik pascakemerdekaan, negara muda bernama Indonesia yang dibebat oleh pertarungan geopolitik global, hingga pembangunan karakter negara-bangsa yang dipenuhi oleh intrik sosial politik domestik. Ketika G-30S/PKI menjadi defining moment yang mengakhiri usia rezim, Indonesia memasuki babakan sejarah baru bernama orde baru. Dinamika dan jiwa zaman pada orde ini berbeda 180 derajat dengan orde sebelumnya. Pada masa ini, Indonesia giat melakukan pembangunan nasional. Tak selamanya positif, orde ini tercoreng oleh perilaku diktator Soeharto yang mengebiri hak asasi manusia dan demokrasi.
Krisis ekonomi moneter yang merebak di Asia Tenggara dan meradiasi perekonomian Indonesia menjadi momen awal kejatuhan orde baru. Puncaknya, ketika gerakan reformasi meledak pada1998 dan menjadi defining moment kejatuhan Soeharto. Indonesia masuk pada labirin kehidupan baru, jauh berbeda dengan dua orde sebelumnya. Masa ini dikenal sebagai orde reformasi. Orde ini dibersamai oleh banyak penanda. Mandat reformasi diaksentuasikan dalam bentuk perubahan konstitusi sepanjang 1999 hingga 2002. Amandemen membawa banyak konsekuensi seperti lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi, munculnya Komisi Yudisial (KY) sebagai penjaga muruah para hakim, beralihnya mekanisme Pilpres dari representatif menjadi langsung, hingga kebijakan-kebijakan reformis lainnya yang membawa angin segar bagi masyarakat.
Selain amandemen konstitusi secara simultan, karakteristik yang melekat pada orde reformasi adalah hadirnya demokratisasi di segala lini kebangsaan. Indonesia memasuki periode orientasi demokrasi yang jelas mulai dari tahap inisiasi demokrasi (1998), instalasi demokrasi (1999-2004), konsolidasi demokrasi (2004-2029), serta komitmen untuk menuju demokrasi matang (2029). Yang paling sulit dari seluruh tahapan demokrasi yang ada tentu saja konsolidasi demokrasi, milieu di mana kita berada hari ini. Pada tahap ini, demokrasi bisa saja berkembang menjadi proses yang menegasikan demos itu sendiri sebagai subjek dan objek. Dalam spektrum yang lebih besar, konsolidasi demokrasi yang gagal bisa membuat reformasi dikorupsi, digembosi, bahkan dihabisi! Oleh siapa? Oleh oligarki dan elit-elit yang tak hendak Indonesia menjadi negara maju dan tangguh.
Kekecewaan terhadap reformasi awalnya mungkin berada pada tahap dirasa-rasa, hanya dirasakan oleh segelintir pihak yang menilai ada rumpang antara mandat dengan realisasi hari ini. Namun, kekecewaan ini perlahan tapi pasti bergulir menjadi bola salju yang besar. Reformasi yang berlangsung selama lebih dari dua dekade lamanya belum mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Korupsi yang menjadi penyakit orde baru malah mengalami desentralisasi; dilakukan dan dinikmati banyak pihak. Celakanya lagi, sulit diberantas. Otonomi daerah yang mengandung spirit pemerataan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat menjelma menjadi mesin produksi raja-raja kecil di daerah yang berlaku oligarkis dan elitis. Otonomi khusus hingga dua jilid di wilayah Papua, bahkan tidak mampu meredam gejolak keinginan merdeka dari wilayah paling ujung timur Indonesia tersebut.
Di tengah skeptisisme publik terhadap arah gerak reformasi yang mengalami setback atau kemunduran, kehadiran Prabowo Subianto sebagai pemimpin baru Indonesia menjadi oase segar di padang gurun. Ia hadir menyentak dengan kebijakan-kebijakannya yang menyerang praktik korupsi dan oligarki di tanah air. Prabowo Subianto bersama mesin pemerintahannya seperti Polri, Kejagung, dan KPK tampil menyerang dengan memberantas praktik korupsi dan mafia di segala lini, mulai dari praktik pertambangan ilegal, mafia migas, kebocoran di sektor pertanian dan kehutanan, hingga mengevaluasi kembali proyek-proyek strategis nasional yang merugikan negara. Ada hal penting yang perlu digarisbawahi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Bahwasanya praktik korupsi dan mafia yang menjadi toksin reformasi, perlu dibuang terlebih dahulu dari darah republik, agar arah gerak pembangunan dapat berjalan dengan benar.
Lahirnya babak baru
Ada banyak argumentasi yang bisa dieksplanasi untuk menyebut kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai kepemimpinan transformatif yang membawa Indonesia memasuki milieu baru bernama orde transformasi. Pertama, kepemimpinan yang mampu membaca dinamika dan arah zaman. Karena dikorupsi dan digembosi, reformasi hanya menjadi sekedar jargon, simbol tanpa makna. Maka dari itu, reformasi harus diubah pada skema transformasi agar apa yang dimandatkan menjelma menjadi sesuatu yang riil bagi masyarakat. Hal ini tercermin dari kebijakan transformatif Prabowo Subianto dengan menggagas program sekolah rakyat, sekolah garuda, koperasi merah putih, transformasi digital pendidikan, termasuk program besar seperti swasembada pangan dan energi.
Kedua, produksi kebijakan yang bersandar pada konsensus dasar kebangsaan dan pemikiran para pendiri bangsa. Aktivisme Indonesia di panggung internasional dengan menjadi anggota BRICS, penjajakan menjadi anggota OECD, hingga berperan aktif dalam perdamaian di Palestina, merupakan aktualisasi pemikiran Soekarno akan geografische constellatie, yakni kesadaran diri akan kekuatan dan kapasitas kebangsaan. Demikian juga dengan pembentukan Danantara dan koperasi desa merah putih, merupakan pengejawantahan dari pemikiran Sumitro dan Hatta; dua begawan ekonomi nasional. Kedua aspek tersebut menjadi karakteristik dan kekhasan dari kepemimpinan Prabowo Subianto sepanjang satu tahun terakhir. Tidak terlalu populis, terkadang kontroversial. Namun, perlahan tapi pasti membawa Indonesia memasuki fase transformasi.
Tranformasi bukanlah proses yang instan. Ia merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Ia butuh didukung oleh sumber daya nasional yang mumpuni dan terintegrasi. Pada tataran politik, transformasi di segala lini membutuhkan konsolidasi demokrasi, yakni ketika semua komponen bangsa bersatu padu menuju orientasi yang sama. Lahirnya orde transformasi yang diinisiasi oleh rezim Prabowo Subianto bukanlah kondisi yang tabu untuk disebut. Keberanian rezim Prabowo Subianto memberantas toksin dalam darah reformasi menjadi defining moment yang melahirkan fase ini. Setuju tidak setuju, kita perlu bertanya langsung kepada rakyat sebagai pemegang daulat negara.



