Telusur.co.id -Oleh:Muhammad Fahrezi Syamil Aulia Fachrul, Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Di tengah dinamika politik ibukota yang semakin kompleks, kepemimpinan inklusif menjadi salah satu pendekatan yang dibutuhkan untuk memastikan kota bergerak ke arah yang lebih adil dan setara bagi semua. Dibutuhkan kepemimpinan yang mampu merangkul keberagaman, belakangan ini sosok Pramono Anung menarik perhatian karena konsistensinya menempatkan kata “inklusif” sebagai fondasi narasi politiknya.
Kepemimpinan inklusif yang menekankan ruang partisipasi setara, pengakuan atas keberagaman, dan redistribusi kesempatan, pemimpin diharapkan mampu menghadirkan keputusan yang bukan hanya efektif, tetapi juga merangkul kelompok yang sering termarjinalkan. Dalam konteks ini, sejumlah kebijakan dan agenda publik Pramono memperlihatkan upaya untuk menerjemahkan gagasan tersebut ke dalam praktik pemerintahan.
Salah satu contoh paling menonjol adalah penyelenggaraan Job Fair dan Upskilling Disabilitas 2025 di Taman Ismail Marzuki. Bukan hanya menjadi seremoni belaka, agenda ini mencerminkan akses dan kesempatan yang setara.Program ini berbeda dari job fair biasa karena tidak hanya membuka lowongan kerja, tetapi juga menghadirkan rangkaian upskilling yang diikuti puluhan peserta, mulai dari pelatihan membatik, desain grafis, hingga public speaking yang dirancang sesuai kebutuhan penyandang disabilitas.
Selain itu, acara tersebut berhasil menyalurkan ratusan peserta disabilitas ke berbagai perusahaan, sebuah capaian yang jarang terlihat pada event ketenagakerjaan tingkat kota. Tidak berhenti di situ, terdapat pula pameran UMKM inklusif untuk pelaku usaha disabilitas. Perpaduan rekrutmen, pelatihan, dan pemberdayaan ekonomi ini memperlihatkan bahwa Pramono tidak hanya menyediakan ruang, tetapi juga membangun jalur mobilitas sosial yang lebih setara bagi kelompok disabilitas.
Konsistensi narasi inklusif tampak ketika Pramono menghadiri acara Sitammu Mali yang digelar Ikatan Keluarga Toraja (IKAT) Jabodetabek di Cibubur. Kehadirannya tidak berhenti pada level seremoni belaka, tetapi membawa pesan politik bahwa pemerintah kota mengakui dan merangkul seluruh keberagaman yang hidup di Jakarta.
Saat menekankan nilai-nilai budaya Toraja, yaitu siama, si pakabaru, dan si randean, Pramono menempatkannya sebagai landasan etis bagi kerukunan dan kohesi sosial kota. Dengan mengangkat warisan budaya Toraja dalam panggung publik, ia menunjukkan bagaimana pengakuan budaya dapat menjadi instrumen politik untuk memperkuat rasa kepemilikan, keterlibatan, dan kepercayaan warga terhadap pemerintah kota yang ingin membangun kota inklusif dan ramah.
Bahkan pada konteks sosial-keagamaan, Pramono mempertahankan konsistensinya. Kebijakan membolehkan perayaan Natal di Jakarta dan dukungan terhadap pelayanan kemanusiaan inklusif PMI DKI menunjukkan bahwa inklusivitas baginya bukan hanya isu sektoral, melainkan prinsip pengelolaan kota. Langkah ini menjadi relevan di tengah meningkatnya politisasi identitas yang kerap menggeser ruang publik menjadi rentan akan polarisasi. Dengan menguatkan inklusifitas dalam sosial-keagamaan, Pramono berusaha mewujudkan nilai-nilai pluralisme.
Perlu dicatat bahwa menilai pemimpin inklusif tidak bisa hanya dari narasi positif atau kegiatan seremonial. Inklusivitas menuntut keberlanjutan, evaluasi kebijakan, dan pembuktian melalui dampak nyata. Apa yang dilakukan Pramono tampak sebagai langkah awal yang konsisten, tetapi pengujian sesungguhnya adalah bagaimana program-program ini bertahan, terukur, dan dirasakan masyarakat luas. Karena itu, meski indikator awalnya cukup kuat, pencapaian inklusivitas tetap memerlukan penilaian kritis yang tidak berhenti pada permukaan.
Di tengah tantangan kota besar seperti Jakarta, langkah-langkah awal yang ditunjukkan Pramono memberi gambaran upaya mewujudkan kepemimpinan inklusif. Jika konsistensi ini benar-benar dijaga, kepemimpinan Pramono berpotensi menghadirkan model pengelolaan kota yang tidak hanya efisien, tetapi juga etis dan berkeadilan bagi kelompok yang selama ini kurang terdengar. Apakah hal tersebut akan terwujud tentu bergantung pada keberlanjutan program dan kekonsistenan implementasinya, yang pasti, inklusivitas dalam kepemimpinan tidak dibangun dari satu pidato atau seremoni, melainkan dari keberanian menjaga keberagaman dalam setiap kebijakan yang dijalankan.



