Telusur.co.id - Oleh : Dzulkarnain Jamil
*Catatan Reflektif untuk Presiden dan Bangsa yang Nyaris Lupa pada Akarnya
Republik ini menyanyikan lagu kebangsaannya setiap pagi, tetapi menindas maknanya setiap hari.
Di balik kebisingan Jalan Kenjeran, Surabaya, terbaring W.R. Supratman komposer revolusi yang kini dikalahkan bukan oleh penjajah, melainkan oleh lupa yang dilembagakan negara.
Namun, sejarah sering memiliki ironi yang dingin.
Bangsa ini, yang setiap pagi berdiri menyanyikan “Indonesia Raya”, justru jarang menunduk di hadapan tangan yang menulisnya.
Simbol kebangsaan menjadi mantra tanpa makna, liturgi politik yang kehilangan iman sejarah.
Negara fasih dalam seremoni, tetapi gagap dalam kesetiaan moral terhadap jejak pendiriannya sendiri.
Inilah hegemoni baru: ketika kekuasaan menundukkan kesadaran sejarah di bawah rutinitas administratif.
Kita hidup dalam tatanan yang lebih mencintai arsitektur monumen daripada arsitektur nurani.
Padahal, seperti ditulis Gramsci, hegemoni bekerja bukan dengan paksaan, melainkan dengan kelupaan yang sistematis bangsa dibiasakan untuk melupakan hal-hal yang membuatnya utuh.
Maka, yang hilang dari republik ini bukan sekadar penghormatan kepada pahlawan, tetapi keberanian untuk mengingat.
Delapan dekade kemerdekaan berlalu, namun belum ada satu pun Presiden Republik Indonesia yang datang menziarahi makam pencipta lagu kebangsaan ini.
Bukan karena lupa, tetapi karena kehadiran dianggap tidak lagi penting padahal kehadiran adalah bahasa paling politis dari sebuah rasa hormat.
Negara tampak gagah di depan kamera, tetapi kehilangan sensitivitasnya di hadapan sunyi.
Kita mengagungkan kemerdekaan, tapi gagal memerdekakan diri dari penyakit paling berbahaya bagi bangsa: alienasi terhadap sejarahnya sendiri.
Maka, ketika muncul seruan agar Presiden Prabowo Subianto menjadi Presiden pertama yang menziarahi makam W.R. Supratman, itu bukan tuntutan seremonial.
Itu adalah panggilan moral: agar negara kembali mengenali dirinya, agar kekuasaan kembali menunduk pada asal-usul etis dari kedaulatannya.
Karena negara tanpa penghormatan kepada akar sejarah hanyalah institusi tanpa legitimasi moral sekadar bangunan administratif yang kehilangan jiwa.
Bangsa ini seolah terjebak dalam mekanisme simbolik yang steril. Kita hafal protokol upacara, tapi gagal memahami maknanya.
Kita tahu di mana pusara para pahlawan, tapi lupa mengapa mereka harus dikenang.
Penghormatan yang sejatinya merupakan ekspresi etika profetik kini direduksi menjadi performance state, sebuah tontonan birokratis di mana kesetiaan digantikan oleh formalitas, dan keikhlasan oleh liputan media.
Di titik ini, yang diuji bukan sekadar moral pemerintah, tetapi kesadaran kolektif bangsa.
Apakah kita masih memiliki kemampuan untuk berduka secara intelektual atas hilangnya makna penghormatan?
Ataukah kita telah menjadi masyarakat yang menganggap penghargaan terhadap sejarah sebagai beban administratif yang harus dijadwalkan dan dilaporkan, bukan sebagai ibadah kebangsaan yang mesti dihidupi?
Penghormatan yang sejati tak membutuhkan seremoni, ia hanya menuntut kesadaran.
Sebab bangsa yang kehilangan semangat untuk menunduk di hadapan sejarahnya, lambat laun akan kehilangan arah di hadapan masa depannya.
Kita telah membangun jalan, jembatan, dan gedung tinggi. Tetapi kita lupa membangun ingatan.
Padahal, bangsa tanpa ingatan akan selalu menjadi korban dari kekuasaannya sendiri.
Ziarah ke Rangkah bukan perjalanan fisik; itu adalah perjalanan hermeneuti, membaca kembali teks bangsa di antara batu nisan yang retak.
Di sana, “Indonesia Raya” kembali terdengar bukan sebagai lagu wajib upacara, melainkan sebagai doa sosial: bahwa republik ini lahir dari keberanian seorang pemuda, bukan dari keputusan birokratis.
W.R. Supratman tidak menuntut penghargaan.
Ia hanya menunggu kehadiran satu bentuk cinta yang paling tulus dari bangsa kepada dirinya sendiri.
Sebab, seperti ditulis dalam filsafat kemanusiaan, presence is resistance: kehadiran adalah perlawanan terhadap lupa.
Dan mungkin, di atas tanah sunyi di Jalan Kenjeran itu, “Indonesia Raya” akan terdengar lebih jujur.
Bukan sebagai simbol kenegaraan, melainkan sebagai kesaksian bahwa kemerdekaan sejati hanya dimiliki oleh bangsa yang berani mengingat, dan berani menunduk di hadapan sejarahnya sendiri.
*Penulis adalah Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Regional BADKO HMI Jawa Timur.



