Telusur.co.id -Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI, Universitas Ahmad Dahlan.

Perdebatan soal redenominasi rupiah kembali muncul dalam beberapa tahun terakhir. Setiap kali wacana ini mengemuka, respons publik hampir selalu sama: sebagian menganggapnya sekadar urusan “membuang nol”, tetapi sebagian lain langsung membayangkannya sebagai ancaman terhadap nilai uang. Reaksi yang beragam ini menunjukkan satu hal: redenominasi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan persoalan kepercayaan.

Negara-negara lain sudah melakukannya. Ada yang berjalan mulus, ada pula yang harus belajar dari kekacauan psikologis warganya. Dan dari merekalah kita bisa melihat bagaimana seharusnya redenominasi dirancang.

Turki adalah contoh paling sering disebut. Pada awal 2000-an, mereka hidup dengan inflasi yang membuat harga-harga seperti angka lotre. Enam nol dibelakang harga menjadi pemandangan sehari-hari. Ketika pemerintah akhirnya memangkas enam nol pada 2005, transisi itu tampak mudah dari luar. Padahal prosesnya cukup panjang. Pemerintah Turki menggelar kampanye informasi bertahun-tahun sebelumnya: iklan, leaflet, konferensi pers, hingga penjelasan sederhana bahwa “nilai tidak berubah, hanya angka yang dipendekkan”. Lebih penting lagi, mereka menampilkan harga ganda selama masa transisi. Masyarakat dibiasakan melihat dua angka sekaligus, tanpa dikejutkan perubahan mendadak.

Kisah Korea Selatan berbeda. Negeri ini berkali-kali menyiapkan rencana redenominasi dan berkali-kali pula menundanya. Bukan karena teknisnya sulit, tetapi karena pemerintah membaca sinyal psikologi publik yang belum stabil. Survei menunjukkan sebagian warga masih takut uang mereka “dipotong”. Kekhawatiran itu tidak sepenuhnya rasional, tetapi pemerintah tidak meremehkannya. Mereka memilih menunggu. Ini pelajaran penting: redenominasi yang terburu-buru justru membuka ruang bagi kepanikan.

Estonia menghadirkan cerita lain lagi. Ketika mereka meninggalkan rubel Soviet lalu beralih ke kroon, dan kemudian masuk ke euro, transisi berlangsung tanpa riak besar. Kuncinya: konsistensi komunikasi. Tidak ada pesan berbelit. Tidak ada perubahan mendadak. Harga dalam dua mata uang dipajang selama berbulan-bulan. Pemerintah memberi jaminan bahwa tidak boleh ada pedagang yang sembarangan menaikkan harga. Dengan begitu, publik merasa aman karena aturan mainnya jelas.

Jika kita tarik pelajaran dari ketiga negara itu, benang merahnya cukup jelas: keberhasilan redenominasi bergantung pada rasa tenang yang dibangun pemerintah, bukan pada desain uang baru yang cantik. Masyarakat perlu memahami bahwa 1.000 rupiah yang menjadi 1 rupiah tidak mengubah daya beli. Tabungan tetap sama nilainya. Upah tetap setara. Yang berubah hanyalah tampilan angka.

Masalah muncul ketika persepsi keliru bergerak lebih cepat daripada informasi resmi. Begitu muncul anggapan bahwa nilai uang bisa berkurang, sebagian orang akan berbelanja lebih banyak. Toko menyangka permintaan sedang naik dan ikut menaikkan harga. Inflasi pun muncul bukan karena redenominasi, tetapi karena kepanikan. Polanya mirip pergerakan saham: rumor bisa mendahului realita, dan ketika rumor menjadi keyakinan bersama, pasar ikut bergerak.

Karena itu, jika Indonesia benar-benar ingin melaksanakan redenominasi, kuncinya ada pada persiapan sosialiasi. Pemerintah harus menjelaskan tujuan, dampak, dan teknisnya dengan bahasa yang mudah dipahami. Harga ganda perlu dipasang di seluruh sektor antara lain pasar tradisional, e-commerce, restoran, hingga transportasi. Aplikasi pembayaran dan ATM harus mampu membaca dua nominal. Simulasi di wilayah tertentu bisa menjadi alat ukur apakah publik siap atau tidak.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mewaspadai dinamika ekonomi bawah tanah. Redenominasi membuat uang tunai gelap dalam jumlah besar sulit ditukar tanpa menimbulkan kecurigaan. Ini menimbulkan spekulasi bahwa sebagian pihak berkepentingan mungkin tidak nyaman jika redenominasi berjalan. Kita memang tidak punya bukti langsung, namun dalam politik ekonomi, resistensi dari kelompok yang punya modal besar selalu menjadi faktor yang patut dihitung.

Pada akhirnya, redenominasi bukan kebijakan yang perlu ditakuti. Ia tidak memotong nilai uang, tidak membuat rakyat miskin seketika, dan tidak menandakan krisis. Justru redenominasi biasanya dipilih saat ekonomi relatif stabil. Yang perlu dibangun hanyalah pemahaman publik bahwa perubahan ini tidak mengubah apa-apa kecuali cara kita menulis angka.

Dan selama kepercayaan itu terjaga, redenominasi tidak lebih dari penyesuaian kecil. Namun jika kepercayaan itu rapuh, tiga nol saja bisa menciptakan kegaduhan besar.