telusur.co.id - Seyyed Ahmad Khomeini (28 tahun), cicit Ayatollah Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, sedang berdiri di balkon rumahnya di Teheran pada tengah malam Selasa (13/6/2025) ketika suara serangan Israel dan bunyi pertahanan udara mengguncang kota itu.
Ahmad Khomeini, seorang ulama muda, mengatakan, dari sudut pandangnya, Israel telah melancarkan perang terhadap Iran, yang mengancam integritas negara dan keselamatan rakyatnya.
Namun baginya, konflik itu juga sangat pribadi. Warisan nama keluarganya, revolusi yang dipimpin oleh kakek buyutnya, yang menggulingkan monarki selama ribuan tahun di Iran pada tahun 1979, dipertaruhkan.
"Yang ingin saya katakan adalah kami akan tetap di Teheran, kami tidak akan meninggalkan tanah ini. Bahkan jika kami harus mengorbankan setiap tetes darah kami, seperti seorang prajurit, kami akan berjuang," kata Ahmad Khomeini dalam sebuah wawancara telepon dengan The New York Times, dikutip Rabu (18/6 /2025)
"Musuh telah membuat kesalahan besar jika mereka mengira dapat menggulingkan revolusi ini," sambungnya.
Ahmad menilai, kesalahan yang lebih besar adalah Presiden Amerika Serikat Donald Trump memasuki perang dan menyerang situs nuklir Fordo. Pada hari Selasa itu, Trump mengunggah serangkaian pesan di media sosial, salah satunya menyerukan "penyerahan tanpa syarat" Iran. Trump juga bertemu dengan Dewan Keamanan Nasionalnya untuk mempertimbangkan AS bergabung dengan Israel dalam misi merusak kemampuan nuklir Iran. Sehari sebelumnya, Trump telah memperingatkan warga Teheran, kota berpenduduk lebih dari 10 juta orang, untuk mengungsi dalam sebuah unggahan media sosial.
"Iran akan merespons dengan cara yang berbeda jika hal ini terjadi," tegas Ahmad, mengacu pada keterlibatan AS yang semakin besar dalam konflik tersebut. Perang akan meluas, dan kawasan akan semakin terjerumus ke dalam kekacauan.
Ahmad dalam beberapa tahun terakhir telah mengidentifikasi diri dengan faksi reformis pemerintah. Ia berkampanye untuk kandidat reformis, Masoud Pezeshkian, yang memenangkan pemilihan presiden hampir setahun yang lalu.
Menurut Ahmad, dirinya biasanya menghabiskan akhir pekan di Teheran dan berada di sana pada hari Jumat — akhir pekan di Iran — ketika Israel pertama kali menyerang.
Ia memastikan akan tetap berada di kota Teheran, berkonsultasi dengan lingkaran dekat pejabat pemerintah yang lebih muda. Ia tidak ingin bersembunyi di bunker, seperti penduduk Israel yang ketakutan.
Pada Selasa malam, massa pendukung pemerintahan Iran berkumpul di Palestine Square di pusat kota Teheran, melambaikan bendera dan berjanji akan membalas dendam terhadap Israel. Jam hitung mundur digital di alun-alun tersebut menunjukkan waktu yang diklaim sebagai waktu tersisa hingga kehancuran Israel.
Ahmad yang mendengar tentang pertemuan atau unjuk rasa tersebut dan secara spontan memutuskan untuk berpartisipasi, meskipun ada serangan baru Israel di wilayah Teheran.
Israel telah membunuh sedikitnya 10 komandan militer tertinggi Iran sejak Jumat. Pada hari Selasa, Israel mengatakan telah membunuh komandan militer baru, Mayjen Ali Shadmani, dalam sebuah serangan , beberapa hari setelah ia diangkat. Iran tidak mengomentari klaim Israel tersebut.
Namun, hal itu tidak menghalangi Khomeini muda. Sebagian dari warisan kakek buyutnya, katanya, adalah menunjukkan kepada publik dan musuh bahwa ia tidak takut. "Saya satu orang, dan saya ingin berdiri di samping rakyat," tegasnya.
Dia memahami bahwa beberapa orang Iran "marah pada pemerintah, kesal dan memiliki pandangan negatif terhadap pemerintah, memiliki keyakinan yang berbeda" dari republik yang didirikan oleh kakek buyutnya, tetapi ia meminta rakyatnya untuk selalu bersatu membela Iran. Ahmad bahkan menamai putrinya yang berusia 2 tahun dengan nama Iran.
Pejabat Iran telah lama khawatir bahwa perang dengan Israel atau AS akan mengganggu stabilitas negara, memperparah kesulitan ekonomi, dan memicu pemberontakan dalam negeri.
Pemimpin tertinggi, Ayatollah Ali Khamenei, yang menggantikan kakek buyut Ahmad Khomeini, menyetujui perundingan nuklir dengan AS pada bulan Maret untuk menghindari risiko berperang di dua medan, melawan musuh eksternal dan perbedaan pendapat dalam negeri.
Ketika ditanya apa yang menurutnya akan dikatakan Ayatollah Khomeini kepadanya tentang perang saat ini, Khomeini muda menjawab, "tetaplah bersama, tetaplah bersatu; jika kalian bersatu, tidak ada musuh yang dapat mengalahkan kalian." [Nug]