Telusur.co.id -Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.
Kebijakan Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk memindahkan dana negara dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara telah memantik perhatian publik. Tidak tanggung-tanggung, jumlah yang digelontorkan mencapai Rp200 triliun. Banyak pihak menilai langkah ini berani, bahkan tak sedikit yang mempertanyakannya. Namun, bila ditinjau secara strategis, kebijakan ini sejatinya merupakan terobosan cerdas untuk memperkuat denyut ekonomi rakyat melalui jalur perbankan nasional.
Selama ini, dana negara yang ditempatkan di rekening Bank Indonesia cenderung “mengendap” dan minim manfaat langsung bagi sektor riil. Dengan pemindahan ke Himbara yakni BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI likuiditas bank BUMN akan melimpah. Dampak pertamanya jelas: bank memiliki kemampuan lebih besar untuk menyalurkan kredit dengan bunga lebih ringan kepada dunia usaha. Bagi pelaku UMKM, industri kecil, hingga sektor produktif lainnya, ini merupakan angin segar di tengah kebutuhan pembiayaan yang kian mendesak.
Langkah ini juga sejalan dengan visi pembangunan inklusif. Uang negara tidak hanya dijaga dalam sistem keuangan semata, tetapi dioptimalkan untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Bayangkan bila dana Rp200 triliun itu dialirkan ke kredit usaha kecil, pembiayaan pertanian, pembiayaan rumah rakyat, atau industri kreatif. Efek gandanya akan sangat luas: membuka lapangan kerja, meningkatkan konsumsi rumah tangga, hingga memperkuat daya saing ekonomi nasional.
Dari sisi makro, kebijakan ini turut memperkuat sinergi fiskal dan moneter. Dengan perbankan memiliki likuiditas memadai, Bank Indonesia dapat lebih fokus menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi, sementara pemerintah melalui bank Himbara memastikan aliran kredit produktif tetap lancar. Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan.
Memang, sejumlah pihak mengingatkan adanya risiko moral hazard dan potensi kredit bermasalah. Namun, di sinilah peran pengawasan pemerintah dan otoritas keuangan menjadi krusial. Dengan regulasi yang ketat, transparansi penyaluran, serta pemantauan berkala, risiko tersebut bisa ditekan. Justru dengan adanya kontrol publik dan mekanisme akuntabilitas, bank-bank Himbara didorong semakin disiplin dalam menyalurkan dana ke sektor yang benar-benar produktif, bukan sekadar aman.
Lebih jauh, kebijakan ini juga mencerminkan keberanian pemerintah untuk keluar dari zona nyaman. Di tengah perlambatan global, Indonesia butuh strategi baru agar pertumbuhan tidak sekadar bergantung pada ekspor komoditas atau belanja pemerintah. Dengan mendorong perbankan nasional menjadi motor pembiayaan, pemerintah menegaskan bahwa pembangunan ekonomi harus bertumpu pada produktivitas rakyat sendiri.
Oleh karena itu, publik sepatutnya melihat kebijakan ini bukan sebagai langkah kontroversial, melainkan sebagai inovasi. Dana besar yang sebelumnya pasif kini bertransformasi menjadi energi baru bagi perekonomian nasional. Apabila implementasi dijalankan dengan disiplin, maka kebijakan ini bisa menjadi contoh nyata bagaimana uang negara bekerja untuk rakyat, bukan sekadar tersimpan di rekening.
Singkatnya, keputusan memindahkan dana negara ke bank-bank Himbara adalah bukti bahwa kebijakan fiskal tidak boleh statis. Pemerintah harus berani berinovasi agar uang rakyat benar-benar kembali kepada rakyat. Inilah strategi cerdas yang layak kita dukung, demi Indonesia yang tumbuh lebih inklusif, kuat, dan berdaulat dalam menghadapi tantangan ekonomi global.