Fenomena Politik Uang Dalam Penindakan Pidana Pemilu Tidak Memberikan Efek Jera - Telusur

Fenomena Politik Uang Dalam Penindakan Pidana Pemilu Tidak Memberikan Efek Jera


Telusur.co.idOleh : Yogi Indra Pratama, S.T., M.T.

Fenomena politik uang (money politik) dalam pemilu bukan hal baru, pada Pemilu 2024 atau pemungutan suara Rabu 14 Februari 2024 fenomena ini juga terjadi lagi. Fenomena ini sudah ada secara merata pada setiap proses pemilihan umum baik pada tingkat pilkades, pilkada, pileg, dan pilpres. 

Politik uang tumbuh subur didukung oleh kecenderungan masyarakat yang makin permisif. Pembiaran atas politik uang tidak hanya berimplikasi melahirkan politisi korup namun juga berakibat tercederainya suatu pemilu yang demokratis. 

Beberapa kejadian politik uang :

• Pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menangkap tangan 25 kasus politik uang yang dilakukan selama masa tenang. Kasus ini tersebar di 13 provinsi. Beragam jenis barang yang diberikan partai politik/kandidat kepada pemilih, seperti sembako, dan juga uang tunai. Sumber : https://aclc.kpk.go.id/ berjudul : “Mengapa Politik Uang Tak Bisa Dihilangkan di Masa Pemilu?”.

• Pada Pemilu 2024 beberapa kejadian antara lain; Senin 12 Februari 2024 Caleg DPR dari Partai Golkar, Rannya Fahd A. Rafiq diduga membagikan amplop berisi sebuah kartu bergambar foto Ranny dan uang di Bekasi, dan Depok. 

Dan kejadian Minggu 11 Februari 2024 di Kabupaten Malang seorang caleg berinisial P ketahuan membagian uang kepada 20 warga untuk memilih calon presiden dan wakil presiden. Sumber koran Tempo, Rabu, 14 Februari 2024 berjudul “Tebar Uang Menjelang Pencoblosan”.

Fenomena ini terus berulang yang menandakan gegagalan partai politik dalam merekrut dan kaderisasi untuk mempersiapkan para calon. Untuk Caleg dimulai dari perebutan nomor urut dalam partai yang masih menggunakan uang mahar, atau caleg tidak hanya menginginkan menang saja sedangkan partai hanya membantu pencalonan. 

Selain itu, partai butuh caleg instan yang banyak uang agar suara partai meningkat, dan tidak peduli dengan cara apa. Untuk Pilkada/Pilpres dimulai dari perebutan rekomendasi pencalonan. 

Sehingga kondisi ini yang memicu terjadinya jalan pintas agar bisa menang dan pada tujuan akhirnya para kontestan ini berpikiran untuk dapatnya mengembalikan modal pada saat jadi nanti. Mereka menganggap politik uang adalah cara paling ampuh untuk dapat terpilih.

Sedangkan dari faktor masyarakat akibat ketidaktahuan bahaya yang ditimbulkan dari politik uang, bahwa dengan politik uang maka para calon ini akan mencari-cari untuk dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dengan melakukan praktik korupsi, karena dari besaran gaji dan tunjangan tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. 

Selain itu, faktor kebutuhan ekonomi masyarakat yang mendorong terjadinya politik uang, dan juga faktor budaya yakni tidak pantas menolak pemberian dan terbiasa membalas pemberian seseorang.

Berbagai upaya untuk mengurangi politik uang dalam Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum masih tidak menimbulkan efek jera. 

Mengingat ancaman pidana penjara maksimal 2 tahun ini dirasa kurang memberikan efek jera, karena masih lebih tinggi ancaman pindana penjara pada kasus pencurian yang memiliki hukuman diatas 2 tahun.

Selain itu terdapat kelemahan pada Sentra Penegakan Hukum Terpadu (GAKKUMDU) yang terdiri atas Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian. Ini dikarenakan ketiga lembaga tersebut harus menyepakati apakah masuk dalam unsur politik uang atau tidak, terlebih apabila terdapat salah satu lembaga yang menyatakan itu bukan politik uang maka proses tidak dapat dilanjutkan.

Secara sadar sebenarnya ada keinginan untuk menghapus politik uang, namun regulasi yang mengatur nyata-nyata belum mampu membentengi agar politik uang menjadi minimal. 

Karena itu, ke depan dapat dirumuskannya kembali undang-undang pemilu yang diharapkan mampu menyempurnakannya menjadi lebih mendekati kaidah pemilu yang demokratis, yakni memberi ruang yang sama bagi semua pihak (prinsip persaingan politik yang setara/political equality) untuk berkompetisi secara fair, bukan memberi wadah istimewa bagi kandidat yang paling punya akses dana.

*Penulis adalah Wakil Ketua Bidang (Wakabid) Ketenagakerjaan Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) periode 2022-2025.


Tinggalkan Komentar