Keluarga Sebagai Pilar Etika Bangsa - Telusur

Keluarga Sebagai Pilar Etika Bangsa

Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jatim sekaligus mantan Rektor UNESA, Prof. Dr. Warsono, M.S.

telusur.co.id - Oleh : Prof. Dr. Warsono, M.S.

Pasca pemilu 14 Februari 2024, masalah etika menjadi perhatian yang serius  para akademisi dan guru besar dari berbagai perguruan tinggi. Proses demokrasi dianggap telah menyimpang dari etika, yang ditandai dengan berbagai kecurangan dalam pemilu. Hal ini membangkitkan kembali kesadaran pentingnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Etika merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia termasuk berbangsa dan bernegara, karena memberi ukuran tentang apa yang baik dan buruk. Ukuran-ukuran tersebut merupakan kesepakatan bersama. Oleh karena itu, etika  juga harus dijaga dan ditanamkan kepada setiap generasi baru.

Sejak awal kemerdekaan, para pendiri negara telah menyadari pentingnya karakter (dalam hal ini dimaknai etika). Mereka sadar bahwa, etika  menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan mewujudkan tujuan nasional. 

Tanpa etika, kehidupan berbangsa dan bernegara akan diwarnai oleh keculasan dan kecurangan demi mengejar kekuasaan dan kepentingan pribadi.

Dari awal kemerdekaan yang akan kita bangun bukan hanya negara dan bangsa, tetapi juga karakter. Hal ini secara jelas terungkap dalam pernyataan nation-state dan nation and character building. Negara, bangsa maupun karakter didasarkan kepada Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai pandangan hidup dan karakter bangsa.

Menurut Dardji Darmodiardjo, Pancasila adalah bintang pemandu setiap warga bangsa dalam bersikap dan berperilaku. Sebagai suatu nilai (karena masih bersifat temathik menurut Notonagoro) Pancasila harus dijabarkan kedalam pedoman yang operasional. 

Pada era orde baru, Pancasila dijabarkan kedalam 36 butir sebagai pedoman sikap dan perilaku, yang dikenal dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).

Sebagai karakter bangsa, Pancasila terus ditanamkan kepada semua warga negara melalui pendidikan. Oleh karakter, materi Pancasila selalu ada dalam kurikulum pendidikan nasional. Namun  etika berbangsa dan bernegara sampai saat ini masih belum menunjukan keberadaban, bahkan justru semakin memprihatinkan.

Pada era reformasi presiden Joko Widodo. juga pernah mencanangkan program revolusi mental  untuk memperbaiki mental bangsa yang semakin rapuh. Namun program tersebut juga layu sebelum berkembang. Kemudian Mendikbudristek Nadiem Makarim mencanangkan proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5).

Pembangunan etika menjadi persoalan yang sangat rumit dan sulit, karena harus melibatkan kesadaran dan tanggungjawab setiap orang, keluarga, masyarakat dan negara. Bahkan etika harus ditanamkan kepada anak  sejak dini di lingkungan keluarga, melalui keteladanan dan pembiasaan. Pada usia dini inilah saat yang paling baik untuk menanamkan etika, sebagaimana yang dikatakan oleh Lawrence Kohlberg.  

Keluarga merupakan kawah candradimukanya pembentukan etika. Di keluarga tersebut anak pertama kali memperoleh pendidikan, terutama masalah baik dan buruk. Anak dikenalkan dengan nilai dan norma yang harus dijunjung tinggi dan diamalkan. 

Nilai merupakan sesuatu yang dicita-citakan, sebagai contoh hampir semua orang tua mendambakan anak yang sholeh dan sholikah.
Nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam bentuk aturan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. 

Bahkan aturan tersebut disertai dengan hukuman (sanksi) ketika ada yang melanggar. Oleh karena itu, hampir setiap anak pernah memperoleh hukuman dari orang tua sebagai wujud hukuman atas pelanggaran norma yang dilakukan.

Pendidikan di keluarga menjadi landasan etika bagi setiap orang. Ini juga bisa dirasakan oleh semua orang, bahwa nilai-nilai yang dijunjung saat ini berasal dari keluarga, bukan dari sekolah. Pembiasaan dan keteladanan orang tua serta aturan yang ada di keluarga yang tertanam kuat dalam diri kita.

Etika sesorang sangat tergantung dari budaya yang dibangun di lingkungan keluarga. Jika dalam keluarga tersebut tidak terjadi proses pendidikan etika, akan sulit berharap menhasilkan anak-anak yang beretika. Bahkan harapan memiliki anak sholeh dan sholikah, sulit terwujud jika tidak disertai dengan pembiasaan dan keteladanan dari orang tua maupun lingkungan terdekatnya.

Sayangnya saat ini, keluarga sebagai lembaga pendidikan kehilangan fungsinya. Banyak orang tua yang tidak sempat menanamkan nilai kepada anak, karena kesibukan atau bekerja. Mereka hanya berharap pendidikan etika dari sekolah. Padahal sekolah tidak mungkin bisa menggantikan fungsi  pendidikan keluarga. Guru juga tidak akan mampu menggantikan seluruh peran orang tua.  

Nilai-nilai luhur tidak lagi ditanamkan  oleh orang tua kepada anak. Cerita-cerita kepahlawanan, kesatria, dan keberadaban tidak lagi menjadi bagian dari pengantar tidur anak. Tokoh-tokoh wayang sebagai contoh perilaku yang sarat dengan nilai, tidak lagi dikenal oleh anak-anak.

Pendidikan keluarga telah digantikan oleh TV, yang kurang memberi nilai edukasi. Program TV yang hanya mengejar rating seringkali menampilkan tayangan-tayangn yang memberi mimpi-mimpi dengan gaya hidup yang hedonis dan materialis. Akibatnya orientasi hidup anak tidak lagi mengarah kepada kemartabatan, tetapi bergeser ke arah pragmatisme dan instan.  

Oleh karena itu, jika ingin membangun etika bangsa, fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan harus dibangkitkan kembali. Budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur harus dihidupkan kembali. Peran orang tua sebagai suri teladan tentang sikap dan perilaku yang baik harus disadarkan kembali.

Kerjasama antara orang tua dengan sekolah dan para guru harus ditata ulang. Konflik antara orang tua dan sekolah maupun guru yang sering terjadi harus dihindari. Keduanya harus seiring dan sejalan dalam mendidik generasi bangsa.
Kepercayaan orang tua terhadap sekolah maupun guru harus ditingkatkan. 

Di sisi lain, tanggungjawab sekolah dan guru terhadap pendidikan anak juga harus dikuatkan. Orientasi pendidikan di sekolah juga tidak hanya pada prestasi akademik semata, tetapi juga memberi ruang dan penghargaan terhadap etika. Sebab anak yang pandai tetapi tidak beretika, justru akan menjadi monster yang sangat menakutkan.

*Penulis adalah Ketua Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Timur periode 2022-2026, Ketua II Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (PP ISPI) periode 2014-2019, dan Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa) periode 2014-2018, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa, dan Ketua Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Cabang Jawa Timur.


Tinggalkan Komentar