Ketika Harapan Dijual: Cerita tentang Manifestasi dan Ilusi Kelimpahan - Telusur

Ketika Harapan Dijual: Cerita tentang Manifestasi dan Ilusi Kelimpahan


Telusur.co.id -Oleh: Rusydi Umar,Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.

Beberapa tahun terakhir, istilah manifestasi menjelma menjadi mantra baru di jagat maya. Ia bertebaran di media sosial dalam bentuk video pendek penuh semangat: “Tuliskan keinginanmu, ucapkan setiap pagi, bayangkan dengan sungguh-sungguh, maka semesta akan mengirimkan jalannya.” Kalimatnya lembut sekaligus memikat. Ia menawarkan janji bahwa
hidup bisa berubah hanya dengan kekuatan pikiran, tanpa perlu menunggu proses yang panjang dan melelahkan.

Bagi sebagian orang, keyakinan itu menghadirkan harapan di tengah kepenatan hidup. Mereka menempelkan kata-kata afirmasi di cermin, menulis jurnal impian, dan berdoa sambil membayangkan rumah, pasangan, atau kesuksesan yang diidamkan. Di dunia yang serba cepat dan kompetitif, gagasan bahwa semesta bisa mendengar permohonan kita terasa
menenteramkan. Ia seakan menjadi jalan pintas spiritual bagi manusia modern yang lelah menghadapi ketidakpastian.

Namun di balik narasi yang indah itu, ada sesuatu yang menarik untuk direnungkan. Mengapa manusia yang hidup di era sains dan teknologi justru begitu mudah percaya bahwa pikiran bisa “menarik” realitas hanya dengan vibrasi dan frekuensi? Istilah-istilah ilmiah seperti quantum jump, energi positif, atau frekuensi tinggi sering diselipkan untuk memberi kesan rasional, padahal dalam ilmu fisika, maknanya sangat berbeda. Quantum jump misalnya, hanyalah perpindahan elektron dalam atom, bukan lompatan spiritual menuju kesuksesan. Tapi di dunia motivasi, istilah itu berubah menjadi mantra yang nyaris sakral.

Dari sinilah manifestasi beralih wujud: dari keyakinan pribadi menjadi komoditas publik. Muncul seminar berbayar, kelas daring, hingga ritual afirmasi dengan harga jutaan rupiah. Yang dijual bukanlah produk, melainkan harapan. Yang dipromosikan bukan hasil nyata, melainkan janji kemungkinan. Ironisnya, kelimpahan yang dipamerkan di media sosial justru ada kemungkinan lahir dari uang para peserta yang membeli keyakinan itu sendiri. Semesta tampaknya bekerja
melalui rekening bank dan algoritma iklan.

Ketika janji tidak terwujud, kesalahan tidak pernah ada pada sistemnya. Peserta yang gagal dianggap “belum vibrasi tinggi”, “belum sepenuhnya ikhlas”, atau “masih menyimpan energi negatif.” Mereka yang kecewa diminta untuk menyalahkan diri sendiri, bukan mempertanyakan logikanya. Dalam psikologi, pola seperti ini disebut gaslighting ketika seseorang dibuat
merasa bersalah agar sistem keyakinan tetap utuh dan tak bisa disentuh kritik. Di sini, spiritualitas kehilangan makna aslinya. Ia berubah menjadi mekanisme rasa bersalah yang justru menjauhkan manusia dari kejujuran terhadap diri sendiri.

Padahal, manusia memang butuh harapan. Kita semua butuh sesuatu untuk dipegang ketika hidup terasa berat. Berharap, berdoa, dan percaya bahwa masa depan bisa berubah bukanlah hal yang salah. Tapi ketika harapan dijadikan produk yang bisa diperjualbelikan, ketika doa dikemas sebagai metode cepat kaya, di situlah letak persoalannya. Spiritualitas sejatinya ruang batin yang jernih, bukan pasar yang ramai dengan promosi dan testimoni.

Percaya pada kekuatan pikiran boleh saja, asalkan disertai kesadaran bahwa dunia tetap tunduk pada kerja nyata. Tidak ada afirmasi yang bisa menggantikan tindakan. Tidak ada vibrasi yang bisa menggantikan kejujuran dalam berproses. Semesta, dalam arti yang paling sederhana, bekerja melalui tangan-tangan manusia yang mau bergerak, bukan melalui kata-kata yang
diulang-ulang tanpa usaha.

Mungkin yang perlu kita manifestasikan bukanlah mobil mewah atau rekening berderet nol, melainkan ketulusan untuk menerima hidup sebagaimana adanya. Bahwa keberkahan bukan hanya tentang hasil yang besar, tapi tentang hati yang tenang ketika menghadapi prosesnya. Karena pada akhirnya, semesta yang kita hadapi bukan ruang kosong yang menunggu getaran pikiran, melainkan kehidupan nyata yang menuntut keberanian, kerja keras, dan doa yang jujur.
Di sanalah letak manifestasi sejati bukan ketika semua keinginan terpenuhi, tapi ketika kita mampu berdamai dengan kenyataan tanpa kehilangan arah.

Dan mungkin, justru di saat kita berhenti mengejar “vibrasi semesta”, kita baru benar-benar menemukan kedamaian yang selama ini dicari.


Tinggalkan Komentar