Telusur.co.id -Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi prioritas Presiden Prabowo Subianto adalah salah satu kebijakan paling strategis untuk membangun kualitas sumber daya manusia Indonesia. Dengan memastikan anak-anak sekolah mendapat makanan sehat setiap hari, pemerintah tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga menanam investasi jangka panjang bagi pendidikan, kesehatan, dan masa depan bangsa.
Namun, seperti kapal besar yang baru berlayar, MBG tidak lepas dari gelombang tantangan. Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh kabar anak-anak mengalami keracunan setelah mengonsumsi menu MBG di sejumlah daerah. Peristiwa semacam ini menimbulkan keresahan sekaligus pertanyaan: apakah program sebesar ini bisa berjalan dengan aman dan konsisten?
Masalah Bukan Kegagalan, Tetapi Alarm Perbaikan
Kasus keracunan tentu tidak bisa dianggap remeh. Namun, bukan berarti program MBG harus dinilai gagal. Justru, kejadian itu adalah alarm penting bahwa sistem pelaksanaan perlu diperbaiki. Dalam kebijakan publik berskala nasional, insiden di lapangan sering menjadi bahan evaluasi agar tata kelola lebih kuat.
Faktor keracunan bisa beragam: bahan baku yang kurang segar, proses memasak yang tidak higienis, hingga distribusi yang tidak sesuai standar. Semua itu bisa dicegah dengan pengawasan ketat, protokol higienitas yang jelas, serta keterlibatan ahli gizi di setiap satuan pendidikan.
SPPG: Ujung Tombak yang Perlu Dikuatkan
Di sinilah pentingnya peran Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG). Idealnya, SPPG menjadi ujung tombak pelaksanaan MBG di sekolah dan pesantren. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian SPPG masih kurang kompeten, baik dari sisi manajemen pengadaan, standar kebersihan dapur, maupun literasi gizi.
Keterbatasan kapasitas ini berpotensi menimbulkan masalah, termasuk kasus keracunan. Padahal, peran SPPG sangat vital: mulai dari merancang menu seimbang, memastikan bahan baku berkualitas, hingga mengawasi penyajian makanan. Jika kompetensinya tidak diperkuat, tujuan besar MBG akan terhambat.
Karena itu, pemerintah perlu melakukan pelatihan intensif, sertifikasi pengelola gizi, serta pembinaan berkelanjutan bagi SPPG. Dengan dukungan SDM yang terampil, MBG akan lebih aman, berkualitas, dan memberi manfaat optimal bagi anak-anak.
Sinergi dan Kontrol Sosial
Selain memperkuat SPPG, pelaksanaan MBG juga memerlukan sinergi lintas pihak. Pemerintah daerah, sekolah, dinas kesehatan, hingga orang tua perlu terlibat aktif. Sistem pelaporan cepat berbasis digital bisa menjadi solusi untuk memastikan masalah segera diketahui dan ditangani.
Kontrol sosial dari masyarakat juga penting agar transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga. Optimisme yang Harus Dijaga
Terlepas dari insiden keracunan atau kelemahan SPPG, manfaat MBG jauh lebih besar daripada risikonya. Program ini menyentuh aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi lokal, hingga solidaritas sosial. Jika bahan makanan dipasok dari petani dan UMKM sekitar sekolah, maka MBG juga sekaligus menjadi stimulus ekonomi daerah.
Optimisme ini penting dijaga, sebab MBG adalah investasi untuk Generasi Emas 2045. Anak-anak yang sehat dan bergizi baik hari ini akan menjadi tenaga kerja produktif, pemimpin bangsa, dan inovator masa depan.
Program MBG bukan tanpa kekurangan. Kasus keracunan dan kelemahan kompetensi SPPG adalah ujian sekaligus peluang perbaikan. Yang dibutuhkan bukanlah sikap pesimis, melainkan kerja keras memperkuat sistem, meningkatkan kapasitas pelaksana, dan menjaga kualitas layanan.
Dengan semangat gotong royong dan komitmen bersama, MBG bisa benar-benar menjadi warisan berharga bagi bangsa. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar dibangun dari anak-anak yang sehat, cerdas, dan bergizi baik.



