Telusur.co.id - Oleh : Dr. Hananto Widodo, S.H., M.H.
Di tengah kedukaan mendalam akibat bencana banjir besar yang melanda Sumatera dan sekitarnya, Presiden Prabowo menyetujui usul Bahlil agar Pilkada dipilih oleh DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat sebagaimana yang kita alami selama ini. Usul agar Pilkada dipilih oleh DPRD ini bukan hanya disampaikan pada moment yang tidak tepat. Namun, Pilkada secara langsung oleh rakyat ini sudah menjadi tradisi ketatanegaraan dalam 15 tahun terakhir ini.
Oleh karena itu, jika ada usul agar Pilkada dilakukan oleh DPRD, maka pasti akan memancing perdebatan bukan hanya di kalangan pegiat pemilu, tetapi juga di kalangan masyarakat umum. Secara konstitusional, memang pemilihan Kepala Daerah tidak masuk dalam rezim pemilu. Dalam UUD NRI Tahun 1945 pengaturan mengenai pemilihan Kepala Daerah tidak diatur dalam Bab Pemilihan Umum, melainkan diatur dalam Bab Pemerintahan Daerah.
Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Dipilih Secara Demokratis.” Dalam Pasal ini tidak ada keharusan untuk memilih Kepala Daerah untuk dipilih langsung oleh rakyat.
Dengan demikian, pasal ini merupakan pasal yang mengandung makna open legal policy atau kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU. Pembentuk UU dapat memilih model pemilihan secara langsung oleh rakyat, sebagaimana yang kita Jalani selama ini, juga dapat memilih model pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD. Kedua model pemilihan ini sama-sama demokratis dan tidak bisa dikatakan inkonstitusional jika pembentuk UU memilih model pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD.
Ketika terjadi perdebatan terkait pilihan model Pilkada antara dipilih langsung oleh rakyat maupun dipilih melalui DPRD, yang kita pikirkan selalu seputar kelebihan dan kekurangan masing-masing pilihan sistem ini. Dalam suatu pilihan pasti ada konsekuensinya masing-masing.
Jika menggunakan sistem pemilihan secara langsung, maka biaya politik pasti akan semakin besar, karena KPU harus menyiapkan segala hal terkait dengan perhelatan Pilkada ini. Begitu juga ketika Pilkada melalui DPRD, tentu juga akan mengalami konsekuensi yang tidak mudah.
Model Pilkada melalui DPRD pernah kita alami ketika berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada waktu itu terjadi banyak kolusi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan DPRD, sehingga banyak Kepala Daerah dan anggota DPRD yang menjadi terpidana korupsi.
Di samping itu, Kepala Daerah hasil pilihan oleh DPRD memiliki kadar legitimasi yang rendah dibandingkan jika dipilih langsung oleh rakyat.
Persoalan apakah Pilkada secara langsung oleh rakyat dan dipilih oleh DPRD bukan sekedar persoalan sebagaimana diuraikan di atas, tetapi lebih pada pembalikan tradisi ketatanegaraan yang tidak mudah. Pilkada secara langsung oleh rakyat telah kita laksanakan sejak berlakunya UU No. 32 Tahun 2004. Kemudian tradisi ini diperkuat melalui UU No. 1 Tahun 2015 jis UU No. 8 Tahun 2015 jis UU No. 10 Tahun 2016.
UU tersebut juga telah beberapa diuji di Mahkamah Konstitusi dan putusan MK ini malah memperkuat eksistensi dari Pilkada secara langsung oleh rakyat. Putusan MK yang dianggap paling memperkuat eksistensi Pilkada secara langsung oleh rakyat ini adalah putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 terkait ambang batas pencalonan pasangan Kepala Daerah dan putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Putusan MK No. 135 yang paling menjadi fundamental terkait sistem pilkada, karena dengan adanya pemisahan pemilu nasional untuk memilih Presiden/Wapres, anggota DPR RI dan anggota DPD dan pemilu lokal yang memilih anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kepala Daerah, maka MK telah memasukkan Pilkada dalam rezim pemilu. Jika Pilkada dibarengkan dengan pemilu DPRD, maka sama dengan memasukkan Pilkada dalam rezim Pemilu.
Putusan MK No. 135 yang didahului oleh putusan MK sebelumnya yang memperkuat eksistensi Pilkada secara langsung oleh rakyat ini, tentu akan mempersulit pembentuk UU untuk mengembalikan tradisi Pilkada langsung oleh rakyat menjadi Pilkada oleh DPR sebagaimana dianut dalam UU No. 22 Tahun 1999. UU tentu harus memiliki 3 landasan, yakni landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis.
Landasan yuridis berkaitan dengan alasan hukum dibalik system Pilkada oleh DPRD. Memang secara konstitusional pembentuk UU diberi pilihan untuk memilih antara Pilkada langsung atau Pilkada oleh DPRD. Namun demikian, putusan-putusan MK yang memperkuat eksistensi Pilkada langsung ini akan menjadi dinding penghalang bagi pembentuk UU dalam memberlakukan system Pilkada oleh DPRD.
Sedangkan landasan sosiologis akan bicara mengenai kebutuhan masyarakat terkait system pilkada ini. Beberapa Lembaga survey telah merilis kalau mayoritas masyarakat Indonesia menghendaki agar Pilkada langsung tetap dipertahankan. Apalagi dalam pembentukan UU diwajibkan untuk menyerap aspirasi rakyat dalam bentuk partisipasi yang bermakna.
Pembentuk UU kemungkinan akan mengajukan argument bahwa Pilkada secara langsung yang terjadi selama ini lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Seperti maraknya politik uang, konflik horizontal dan lainnya. Namun, secara sosiologis itu bukan argumentasi yang kuat. Karena maraknya politik uang dan konflik horizontal lebih disebabkan kurang maksimalnya Lembaga penyelenggara pemilu dalam melaksanakan kewenangannya.
Secara filosofis, Pilkada langsung oleh rakyat juga tidak bertentangan dengan demokrasi Pancasila. Tuduhan bahwa Pilkada langsung oleh rakyat merupakan perwujudan dari demokrasi liberal adalah merupakan argumentasi yang mengada-ada. Pemilihan secara langsung ini tidak terkait dengan liberalisme, tetapi lebih pada penguatan hasil Pilkada yang lebih legitimate, karena dipilih oleh sang pemilik kedaulatan, yakni rakyat lokal.
*Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya (HTN FH UNESA).



