Telusur.co.id -Oleh: Boy Anugerah, S.I.P., M.Si.,M.P.P., Direktur Eksekutif Baturaja Project.
Amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 sejatinya sangat jelas, bahwa pengelolaan kekayaan sumber daya alam Indonesia ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka mewujudkan mandat konstitusi tersebut, pemerintah menjadi kepanjangan tangan negara untuk mengatur dan mengelolanya dengan tata kelola yang baik dan bersih. \
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan Menhan Sjafrie Sjamsoeddin baru-baru ini terkait pertambangan ilegal menarik untuk disimak. Keduanya sepakat bahwa negara ini mengalami kerugian besar akibat praktik tambang ilegal yang dilakukan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, kekayaan tambang Indonesia dikeruk para oleh komprador dan asing. Kerugian ditaksir mencapai angka Rp. 300 triliun. Keterlibatan oknum aparat penegak hukum, lemahnya pengawasan kementerian dan lembaga terkait, serta intervensi kepentingan asing dituding sebagai biang kerok carut-marutnya tata kelola tambang nasional.
Potret tambang nasional
Tata kelola timah sebagai komoditas tambang unggulan nasional menjadi salah satu potret buram dalam praktik pertambangan di negeri ini. Indonesia adalah produsen sekaligus aktor perdagangan utama di level global untuk komoditas timah. Merujuk data KESDM, total produksi timah Indonesia mencapai 80 ribu ton per tahun dan total cadangan mencapai 800 ribu ton. Sebaran timah di Indonesia cukup luas, mulai dari Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Kalimantan Barat, hingga Provinsi Sulawesi Utara.
Dengan okupasi sumber daya sebesar itu, sudah semestinya daerah penghasil dan penduduknya menjadi makmur dan sejahtera. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pendapatan sektor tambang lebih banyak masuk ke segelintir elit. Penerimaan negara jauh dari angka yang seharusnya diperoleh. Pernyataan Presiden Prabowo bahwa 80 persen penghasilan timah dibawa ke luar negeri tanpa membayar pajak, tanpa memberikan pendapatan bagi negara, merupakan kaca benggala kotor dan buruknya tata kelola timah nasional.
Apa yang terjadi pada komoditas timah, setali tiga uang dengan komoditas-komoditas lainnya. Kebijakan hilirisasi nikel yang digagas oleh rezim pemerintahan sebelumnya memang memberikan dampak positif dari sisi finansial, yakni lonjakan nilai tambah ekspor dari produk-produk yang mengalami proses pengolahan lanjutan di smelter. Namun demikian, kebijakan ini bukan tanpa efek samping. Kebijakan yang tidak dipandu oleh negosiasi yang nasionalistis menjadi celah bagi masuknya kepentingan asing. Jumlah tenaga kerja asing meningkat, sementara penduduk lokal lebih banyak bermain di remah-remah proyek sebagai tenaga kasar.
Berbagai privilege yang mengancam kedaulatan nasional seperti bandara khusus di berikan dengan dalih memperlancar proyek hilirisasi. Yang paling fatal adalah kerusakan ekosistem lingkungan hidup. Survei CREA dan Celios menunjukkan bahwa manfaat ekonomi yang dihasilkan dari hilirisasi nikel di Sulawesi dan Maluku tidak sebanding dengan risiko sosial dan lingkungan yang diderita oleh masyarakat. Masyarakat terancam menderita penyakit pernafasan akibat polusi pertambangan. Masyarakat setempat terancam kehilangan mata pencaharian lain seperti pertanian dan perikanan karena ekosistemnya rusak.
Tiga faktor
Penataan ulang sektor pertambangan nasional menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan oleh pemerintah saat ini. Tata kelola tambang yang baik dan bersih akan berkorelasi positif bagi pencapaian target-target pembangunan nasional, terutama dari sisi pendapatan negara. Pengelolaan tambang yang berkiblat pada mandat konstitusi akan memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dalam bentuk terciptanya lapangan pekerjaan dan meningkatnya daya beli masyarakat. Pemerintah saat ini perlu memetakan faktor-faktor apa saja yang menimbulkan kebocoran di sektor pertambangan nasional. Sedikitnya ada tiga faktor utama yang berpengaruh, yakni perizinan, pengawasan, dan investasi.
Perizinan menjadi pintu masuk pertama terjadinya kebocoran dan mismanajemen di sektor tambang. Perizinan perlu dilakukan secara cermat dan saksama dengan menilai manfaat ekonomis dan sosial dari izin yang diberikan, risiko dan pengelolaan risiko terhadap masyarakat dan lingkungan, serta derajat kepatuhan dari calon pelaku usaha pertambangan. Jika salah satu komponen tidak terpenuhi, maka ada potensi besar kebocoran negara dan kerusakan lingkungan terjadi. Hal-hal yang sifatnya administratif juga perlu divalidasi oleh KESDM sebagai bentuk upaya mitigatif mencegah kebocoran.
Faktor kedua adalah pengawasan. Pengawasan menjadi faktor krusial untuk memastikan komitmen pelaku usaha pertambangan pada saat proses perizinan berjalan sebagaimana mestinya. Pengawasan memainkan peranan penting agar eksplorasi (penyelidikan dan studi kelayakan) dan operasi produksi (konstruksi, penambangan, pengolahan, dan penjualan) yang dilakukan oleh pelaku usaha pertambangan sesuai dengan izin usaha yang diberikan. Pengawasan juga dilakukan untuk mengukur kepatuhan pelaku usaha tambang dalam menjalankan komitmen reklamasi dan kegiatan pasca tambang untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Pengawasan perlu dilakukan untuk memastikan tidak ada dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan tambang terhadap masyarakat setempat. Para pihak yang melakukan pengawasan seperti KESDM dan pemerintah daerah harus menjalankan kewajibannya dengan integritas penuh sesuai regulasi yang berlaku.
Jikalau ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan perizinan dan indikasi pelanggaran hukum, maka langkah penegakan hukum adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Pengawasan yang lemah, apalagi pengawasan yang tidak dilakukan dengan integritas penuh dapat menjadi celah masif kebocoran negara dan kerugian bagi masyarakat.
Faktor ketiga adalah investasi. Di era di mana struktur global didominasi oleh kekuatan yang cenderung unilateralis dan menciptakan dependensi, investasi menjadi pedang bermata dua bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di satu sisi, investasi dapat bermanfaat positif bagi pembangunan nasional, memacu pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun demikian, di sisi lain, investasi dapat membawa kemudaratan. Investasi dapat menjadi celah bagi negara maju (major states) untuk menciptakan ketergantungan kepada negara-negara lain, lahirnya mekanisme penjajahan gaya baru (new colonialism and imperialism), dan yang lebih mengkhawatirkan adalah permintaan privileges yang dapat menggadaikan kedaulatan nasional. Tidak ada investasi yang diberikan secara percuma tanpa mengharapkan return. Di era perang gaya baru saat ini, investasi dapat menjadi proksi untuk memaksakan kepentingan nasional dari satu negara ke negara lain.
Dalam konteks ini, pemerintah baik pusat maupun daerah harus bersikap cermat dan hati-hati. Negosiasi dan diplomasi dalam menarik investasi perlu dilambari oleh sikap nasionalistis dan kewaspadaan nasional yang kuat. Tanpa dibersamai oleh sikap nasionalistis dan kewaspadaan nasional, investasi berpotensi menimbulkan jerat hutang, pengerukan sumber daya alam, dan tergadainya kedaulatan negara.
Konsolidasi dan penegakan hukum
Untuk mewujudkan tata kelola tambang yang baik dan bersih (good and clean), pemerintahan Presiden Prabowo harus mengonsolidasi ulang kementerian dan lembaga terkait yang mengatur proses perizinan dan pengawasan. Situasi dan kondisi yang terjadi pada hari ini, tidak terlepas dari kinerja kementerian dan lembaga terkait. Selain itu, pemerintahan Presiden Prabowo harus menggalakkan proses penegakan hukum secara masif dan tanpa pandang bulu terhadap para pelaku usaha pertambangan yang menyebabkan kebocoran negara, kerusakan lingkungan hidup, dan pemiskinan struktural kepada masyarakat.
Pernyataan Presiden Prabowo bahwa ada oknum TNI/Polri yang terlibat selaku backing pelaku usaha tambang perlu dicermati. Panglima TNI dan Kapolri harus menunjukkan inisatif, sikap pro-aktif, dan tanggung jawabnya dengan melakukan penegakan hukum terhadap aparatnya yang terlibat. Setiap upaya yang sudah dilakukan perlu dilaporkan kepada presiden sebagai progress dan dipublikasi kepada masyarakat untuk mengembalikan kepercayan publik. Mereka yang terbukti terlibat dalam praktik tambang ilegal harus ditindak secara tegas sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Indonesia adalah negara besar dari sisi okupasi sumber daya alam. Kekayaan sumber daya tambang sudah semestinya menjadi katalisator yang dapat mengakselerasi pembangunan nasional, mengungkit pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Namun demikian, praktik status quo selama ini yang cenderung menyalahi perizinan, melanggar hukum, dan hanya menguntungkan segelintir pihak menjadi penyebab negeri ini dan penduduknya tidak kunjung sejahtera. Komoditas tambang seakan menjadi kutukan bagi masyarakat setempat yang kerap terdampak bencana ekologis karena pertambangan yang dilakukan secara serampangan.
Pendapatan negara juga tidak maksimal karena angka yang diterima lebih banyak bocor ke pihak asing dan para oknum. Dengan melakukan konsolidasi kelembagaan, memperkuat sektor perizinan, pengawasan, dan investasi, serta melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu, kita semua berharap tata kelola tambang nasional dapat menjadi lebih baik ke depan.



