telusur.co.id - Suasana mencekam menyelimuti ibu kota Nepal, Kathmandu, saat militer dikerahkan untuk memulihkan ketertiban di tengah kerusuhan terburuk dalam dua dekade terakhir. Jalanan kota berubah menjadi medan pertempuran urban, dengan kendaraan lapis baja melintasi bangkai mobil terbakar dan gedung-gedung yang kini hanya tinggal puing dan abu.
Langit kota diselimuti asap hitam dari gedung parlemen yang hangus, sementara suara pengeras suara tentara bergema: “Jam malam diberlakukan. Kembali ke rumah Anda sekarang.” Pemandangan ini menjadi simbol runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemerintah yang akhirnya memuncak pada pengunduran diri Perdana Menteri dan kehancuran simbol-simbol negara.
Kerusuhan dimulai pada Senin, dipicu oleh kebijakan kontroversial pemerintah yang melarang akses ke media sosial serta skandal korupsi besar-besaran. Tapi yang membuat semuanya berbeda kali ini adalah siapa yang memimpin gelombang protes: Generasi Z. Kaum muda yang lelah dengan janji kosong dan kehidupan penuh ketimpangan menyuarakan kemarahan mereka—dan dunia melihatnya terbakar dalam api pemberontakan.
Protes damai dengan cepat berubah menjadi kemarahan nasional. Sedikitnya 19 orang tewas dalam bentrokan dengan aparat. Gedung-gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, hingga rumah para pejabat menjadi sasaran amuk massa. Bandara Internasional Tribhuvan bahkan lumpuh total, membuat Nepal seolah terisolasi dari dunia luar selama dua hari penuh.
Di tembok hitam bekas gedung parlemen, sebuah pesan mencolok tertulis dengan cat semprot:
Kalian memilih lawan yang salah.
Tanda tangan: *Gen Z*.
Ini bukan sekadar vandalisme. Ini adalah pernyataan. Ini adalah perlawanan.
Aksi massa mencapai puncaknya saat rumah mantan perdana menteri empat periode, **KP Sharma Oli (73)**, diserang dan dibakar. Oli mengundurkan diri tak lama setelahnya, menyatakan bahwa ia mundur demi membuka jalan bagi solusi politik. Namun hingga kini, keberadaannya tidak diketahui.
Dalam tragedi memilukan, istrinya, Jhala Nath Khanal, meninggal setelah terjebak di dalam rumah yang dilalap api. Dunia menyaksikan, dan Nepal berduka tapi amarah belum mereda.
Menurut think tank International Crisis Group, ini adalah "titik balik besar" dalam sejarah demokrasi Nepal. PBB pun turut angkat suara. Sekretaris Jenderal Antonio Guterres menyerukan pengendalian diri dari semua pihak agar kekerasan tak semakin meluas.
Namun jalan ke depan masih berkabut. Siapa yang bisa menyatukan rakyat Nepal kini? Siapa yang dipercaya oleh generasi muda yang telah meruntuhkan simbol kekuasaan lama?
Ironisnya, pemerintah sempat melarang akses ke 26 platform media sosial, tetapi melupakan satu: TikTok. Justru dari sanalah kemarahan tersalurkan dan semangat perlawanan menyebar. Video-video viral menampilkan kontras tajam: rakyat yang hidup pas-pasan vs anak-anak pejabat yang memamerkan jam tangan mewah, liburan ke luar negeri, dan pesta glamor.
Dengan pengangguran di kalangan pemuda mencapai lebih dari 20% dan PDB per kapita hanya USD 1.447, tak heran jika akhirnya api kemarahan tak bisa lagi dipadamkan.
Pengacara konstitusi Dipendra Jha menekankan perlunya pemerintahan transisi yang inklusif, melibatkan tokoh-tokoh yang dipercaya rakyat. Namun hingga kini belum ada sosok pemersatu yang muncul.
Analis Crisis Group, Ashish Pradhan, menyatakan:
“Waktu tidak berpihak pada elite lama. Generasi muda telah bicara. Sekarang giliran mereka untuk mendengar.”