Omnibus Law Hanya Untungkan Investasi, Lingkungan Hidup Diabaikan - Telusur

Omnibus Law Hanya Untungkan Investasi, Lingkungan Hidup Diabaikan

Laksanto Utomo

telusur.co.id - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), Laksanto Utomo menyatakan, muatan dalam draf RUU Cipta Kerja tersebut dinilai hanya mengutamakan investasi dan pembangunan infrastruktur, tetapi mengabaikan lingkungan hidup. 

"RUU Cipta Kerja ini memuat 11 klaster, 15 bab, 174 pasal, 79 UU dengan 1.203 pasal yang terdampak. Dari 79 UU itu, salah satu UU yang terdampak yakni UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)," ujar Laksanto pada wartawan, Senin (13/4/2020)

Salah satu hal yang perlu dikritisi sambung Laks, mengenai diubahnya aturan wajib izin lingkungan sebagai persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. 

Saat ini, masalah izin lingkungan itu diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Dalam Pasal tersebut secara tegas ditentukan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan.

"Permasalahannya RUU Cipta Kerja hendak menghapus Pasal 40 UU PPLH itu, sebagaimana tertulis pada Pasal 23 angka 19 RUU Cipta Kerja. Izin lingkungan diubah menjadi Persetujuan lingkungan," paparnya.

Lanjut Laks, persetujuan lingkungan adalah keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya definisi tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal)-pun mengalami perubahan.

"Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009, analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) adalah, kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan," terangnya. 

Dosen Fakultas Hukum Usahid Jakarta itu menambahkan, dalam RUU Cipta Kerja definisi analisis mengenai dampak lingkungan hidup diubah menjadi adalah kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup, dari suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan. 

Perlu diingat bahwa izin lingkungan sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) itu merupakan instrumen yang berfungsi, untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

"Perubahan aturan izin lingkungan dan Amdal sebagaimana diatur diatur Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), sangat potensial berdampak terhadap hak atas tanah dan hutan (ulayat) yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat," tambah Laks.

Apalagi saat ini hak masyarakat hukum adat atas tanah ulayat juga semakin terpinggirkan, ketika ruang dan peluang investasi asing makin dibuka lebar oleh pemerintah. Kebijakan dibidang lingkungan hidup tersebut wajib dicermati dengan arif dan bijaksana oleh Pemerintah dan DPR, terutama dampaknya terhadap masyarakat hukum adat. 

Apalagi selama ini masyarakat hukum adat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan tanah dan hutan ulayat yang mereka kuasai. Bahkan, hak-hak masyarakat hukum adat seringkali diabaikan saat tanah dan hutan ulayat mereka dijadikan atau terkena lahan perkebunan, HPH dan pengelolaan sumber daya alam oleh korporasi atau investor.

Idealnya negara dan pemerintah melindungi dan berpihak kepada masyarakat hukum adat atas tanah dan hutan ulayat yang dikuasai tidak beralih ke pihak lain, terutama korporasi atau investor. 

"Hal ini harus menjadi perhatian serius dari Pemerintah dan DPR, agar masyarakat hukum adat tidak terusir dari wilayah adat dan ulayatnya karena alasan untuk dan atas nama pembangunan ekonomi seperti yang sering terjadi selama ini," katanya.

Mereka memang rentan terzalimi oleh kebijakan penguasa dan kepentingan pengusaha, namun sesungguhnya masyarakat hukum adat-lah dengan kearifan lokal mengenai lingkungan hidup yang mereka pegang teguh, sebagai peninggalan para leluhurnya itu adalah pejuang sejati yang menjaga kelestarian hutan dan tanah di wilayah adatnya. 

Perlu diingat bahwa kearifan lokal menjadi salah satu asas penting yang harus diperhatikan, dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur Pasal 2 UUPPLH. Dan sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga saat ini, masyarakat hukum adat tetap konsisten dan berperan besar dalam menjaga keseimbangan alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Berdasarkan uraian diatas, dengan mempertimbangkan dampak penghapusan atau perubahan Pasal 40 UUPPLH sebagai implikasi hukum, dari aturan lingkungan hidup dalam omnibus law RUU Cipta Kerja terhadap hak-hak atas tanah dan hutan ulayat masyarakat hukum adat, maka Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia meminta dan mendesak Pemerintah dan DPR, untuk mengkaji dan mempertimbangkan lagi rencana perubahan tersebut.

"Menurut APHA Indonesia pilihan yang terbaik adalah tetap memberlakukan Pasal 40 UUPPLH yang memuat tentang izin lingkungan hidup, Amdal dan sebagainya tersebut," pungkasnya. [ham]


Tinggalkan Komentar