Para Pemuda Diandalkan Jadi Pejuang Anti Hoaks - Telusur

Para Pemuda Diandalkan Jadi Pejuang Anti Hoaks


telusur.co.id - Perkembangan dunia digital kini telah menyasar ke segala sisi kehidupan manusia. Namun, masih banyak pengguna internet yang belum mampu  memahami dan mengolah informasi secara baik. Akibatnya, banyak yang terpapar oleh informasi bohong alias hoaks.

Dosen Untag Surabaya, Bambang Kusbandrijo menilai, di era posth truth saat ini, semakin tipis batas antara pembenaran dan kebenaran. Untuk itu, diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat dalam memanfaatkan media sosial. 

"Kemajuan teknologi informasi yang begitu masif, memiliki efek negatif. Banjir informasi (information flood) di era revolusi digital menghadirkan sejumlah dampak sosial," kata Bambang dalam diskusi #MakinCakapDigital Kemenkominfo berkolaborasi dengan Siberkreasi bertajuk "Menjadi Pejuang Anti Hoax" pada Minggu (25/9/22).

Menurut Bambang, problem masyarakat bukan pada bagaimana mendapatkan berita, melainkan kurangnya kemampuan mencerna informasi yang benar.

Kesenjangan antara kurangnya literasi media di tengah banjirnya informasi ini disalahgunakan oleh sebagaian kelompok untuk memproduksi berita yang tidak terkonfirmasi, yang belum tentu kebenarannya atau sering disebut hoaks. 

Media sosial kini menjadi medium penting penyebaran hoaks.

"Ujaran kebencian, caci maki di medsos santapan harian kita semua. Aliran informasi di medsos sudah diluar nalar akal sehat kita semua," ucapnya.

Dia menegaskan, hoaks terjadi bukan besifat natural – alamiah tapi by desain. Dan, hoaks berpotensi besar memecah belah sebuah bangsa. Contoh, kasus di Suriah dan Yaman terjadi karena hoaks.

Lebih lanjut, Bambang menitikberatkan harapannya kepada para pemuda agar menjadi pejuang anti hoaks. Sebagai generasi penerus bangsa serta agen perubahan, pemuda memiliki peran yang penting dalam proses pembangunan dan berpartisipasi untuk menyelesaikan tantangan persoalan dalam bidang sosial-ekonomi dan lingkungan khususnya di era digital saat ini.

Sementara itu, Koordinator Media dan Publikasi Seknas Jaringan GUSDURian Heru Prasetia, menjelaskan tentang hasil riset microsoft 2020 yang menyatakan keadaban warga maya Indonesia tergolong buruk. 
Berdasarkan Digital Civility Index (DCI), Indonesia berada di ranking ke 29 dari 32 negara. Digital Civility Index (DCI) adalah indeks yang dibuat Microsoft untuk mengukur perilaku masyarakat di media sosial.

"Dengan hasil tersebut, Indonesia menjadi negara dengan tingkat kesopanan yang paling rendah di Asia Tenggara," papar Heru.

Untuk itu, menurut Heru, sangat penting etis daalam bermedia sosial. Alasannya, dalam ruang digital kita akan berinteraksi, dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika.

"Makanya, segala aktivitas digital – di ruang digital dan menggunakan media digital – memerlukan etika digital," kata Heru.

Sinematografer Zahid Asmara berpesan, setiap pengguna internet diharapkan bisa mengoptimalkan perangkat digital sebagai fitur proteksi dari serangan siber serta hoaks.

"Kita diharapkan mampu menyeleksi dan memverifikasi informasi yang didapatkan serta
menggunakannya untuk kebaikan diri dan sesama," kata Zahid.

Informasi lebih lanjut dan acara literasi digital GNLD Siberkreasi dan #MakinCakapDigital lainnya, dapat mengunjungi info.literasidigital.id dan mengikuti @siberkreasi di sosial media.[Fhr]


Tinggalkan Komentar