Pengamat: Kopdes Merah Putih Berpotensi Jadi Mainan Makelar Proyek - Telusur

Pengamat: Kopdes Merah Putih Berpotensi Jadi Mainan Makelar Proyek


telusur.co.id - Pakar Koperasi Suroto menyoroti gencarnya pemerintah pusat dan daerah mendirikan koperasi sejak diterbitkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pengembangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih beberapa waktu lalu. Namun, menurut dia, konsep dan cara pendirian Kopdes ini menyalahi prinsip dasar koperasi. 

"Bertolak belakang dengan kunci keberhasilan koperasi yang terjadi di seluruh dunia, salahi regulasi koperasi dan Kopdes ini pada akhirnya hanya akan jadi mainan para makelar proyek," kata Suroto dalam keterangannya, Selasa (6/5/2025). 

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) ini menjelaskan, secara konseptual, Kopdes sebetulnya tidak layak disebut sebagai koperasi. Karena tidak menunjukkan ciri-ciri sebagai koperasi sama sekali. Sebagai contoh, motivasi pendirianya yang berasal dari pemerintah secara atas bawah (top down), kehilangan otonomi dan kemandirianya serta jauh dari sistem pengelolaan yang demokratis. 

Padahal, koperasi di berbagai belahan dunia sukses karena dikembangkan atas prakarsa masyarakat, dikembangkan secara mandiri dan dikelola secara demokratis sebagai ciri keunggulan koperasi. 

"Pemerintah itu tugasnya ciptakan ekosisitem yang kondusif bagi tumbuh berkembang koperasi yang sehat bukan dirikan koperasi atau peralat koperasi. Semua ciri atau syarat keberhasilan koperasi tidak ada sama sekali di dalam sistem Kopdes," kritiknya.

Suroto menganggap, Kopdes Merah Putih selain tidak menunjukkan karakter sebagai koperasi, juga seperti bertujuan jangka pendek atau abaikan syarat keberlanjutan.  

"Penggunaan dana pemerintah yang dominan ini menjadi bentuk kooptasi dan rawan jadi mainan politik. Pelibatan pihak-pihak yang tidak kompeten secara kelembagaan hanya akan merusak citra koperasi kedepannya. Sehingga Kopdes ini lebih layak ini disebut sebagai lembaga para makelar proyek ketimbang sebagai koperasi," ucapnya. 

Suroto menyindir, model organisasi "makelar" proyek yang atas namakan koperasi, sudah sering terjadi di Indonesia. Dalam istilah lama disebut sebagai koperasi merpati. Koperasi jenis ini berdiri karena adanya stimulus pendanaan dari luar atau pemerintah. Didirikan ramai-ramai hanya untuk sekedar menampung kucuran pendanaan dari pemerintah, baik berupa bantuan langsung atau kredit program dari pemerintah. 

Dia menceritakan, pada masa Orde Baru, jenis yang sama, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) telah gagal. Koperasi ini ketika ditarik semua hak istimewa bisnisnya, seperti pembelian gabah untuk pengadaan beras Bulog (Badan Umum Logistik) dan penyaluran pupuk langsung rontok. KUD turut rusak citra koperasi dengan anekdot sebut KUD sebagai singkatan Ketua Untung Duluan. 

Kemudian, pada masa reformasi 1998, distimulasi kredit program Kredit Usaha Tani (KUT). Dimana, orang ramai-ramai mendirikan koperasi pertanian (Koptan), dan jumlah koperasi dari 48 ribu naik drastis dalam satu tahun menjadi 92 ribu koperasi. 

"Hampir 100 persen dari jumlah koperasi sebelumnya. Namun koperasi ini hanya menambah deretan panjang koperasi papan nama dan banyak menyeret pelakunya masuk ke penjara," kata dia. 

Ciri lainnya, lanjut Suroto, lembaga semacam ini biasanya tidak memiliki karakter entreprenuership yang kuat dan dikembangkan dengan tata kelola dan sumber daya manusia asal-asalan. Hal itu karena inisiatifnya datang dari elite. 

"Kopdes MP ini dibangun dengan konsep yang salah karena dikembangkan dari atas sebagai alat pemerintah dan bahkan ditempel dengan birokrasi politik desa dengan diarahkan untuk dibentuk melalui mekanisme musyawarah desa (Musdes). Semua orkestrasi dimainkan untuk tujuan pengejaran keuntungan dari para makelar proyek. Mereka yang hanya ingin mendapat keuntungan dari aktifitas pendanaan proyek,"tegasnya. 

Bagi Suroto, pengembangan Kopdes yang secara konsep berantakan ini menandakan masyarakat dan pejabat publik memang tidak banyak memahami apa itu koperasi yang sebenarnya. Artinya masalahnya sudah di level paradigma. 

"Kita jadi pemilik jumlah koperasi terbanyak di dunia tapi rendah dalam kualitas. Ketika dunia sedang ramai ramai rayakan pengakuan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dengan tetapkan tahun 2025 sebagai Tahun Koperasi Internasional (IYC) karena kekuatan demokrasi, otonomi dan kemandirian koperasi, pemerintah justru mencoreng muka sendiri dengan salahi pembentukan koperasi secara serampangan," tukasnya.[Nug] 


Tinggalkan Komentar