Telusur.co.id -Oleh:Falah Akmal Syafid bersama rekan saya Farid Abdul Hakim mahasiswa jurusan Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Menjadi perempuan di Jakarta sering berarti harus memegang banyak peran sekaligus, mulai dari urusan kantor sampai tugas rumah tangga yang seperti tidak ada habisnya. Pagi fokus bekerja, waktu istirahat digunakan mengurus kebutuhan rumah, dan malam hari masih dipakai memikirkan rencana keluarga, anggaran bulanan, atau keputusan keuangan lainnya. Di tengah padatnya aktivitas itu, ada satu hal penting yang sering terlewat: pajak. Banyak perempuan menganggap pajak hanya sebagai potongan otomatis di slip gaji atau sekadar kewajiban tahunan saat lapor SPT. Padahal, penelitian tahun 2025 terhadap 393 WPOP wanita kawin di DKI Jakarta menunjukkan bahwa pajak punya peran besar dalam keuangan perempuan, sementara pemahaman teknis mereka masih tertinggal jauh.
Penelitian ini juga menampilkan hal yang cukup menarik. Secara umum, perempuan Jakarta memiliki kesadaran pajak yang tinggi dan paham bahwa pajak adalah sumber pendapatan negara yang membiayai berbagai layanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Sebanyak 84,7 persen responden bahkan menunjukkan sikap positif dan melihat membayar pajak sebagai bentuk tanggung jawab warga negara. Namun, saat masuk ke bagian teknis cara menghitung pajak, menentukan status pajak setelah menikah, memahami perbedaan KK, MT, dan PH, atau kapan harus memakai NPWP pribadi atau suami—pemahaman mereka menurun drastis.
Kebanyakan responden juga mengaku tidak pernah menghitung pajaknya sendiri dan cenderung menyerahkannya kepada orang lain. Banyak yang mengandalkan HRD, sementara sebagian lainnya menyerahkan semuanya kepada suami. Pola ini muncul berulang dalam wawancara penelitian. Ada responden dari perusahaan swasta yang bertahun-tahun tidak pernah membuka DJP Online karena semua urusan pajak diurus kantor. Ada juga yang takut salah input sehingga memilih tidak ikut campur. Sikap pasif karena takut atau ragu ini membuat mereka tidak benar-benar memahami cara kerja pajak dan dampaknya bagi keuangan keluarga.
Padahal, bagi perempuan yang sudah menikah, status pajak bukan sekadar pengisian data formalitas. Pilihan seperti Kawin Penghasilan Digabung (KK), Memilih Terpisah (MT), dan Pisah Harta (PH) memiliki konsekuensi berbeda dan dapat memengaruhi total pajak keluarga. Penelitian bahkan menemukan banyak perempuan yang tidak tahu bahwa mereka memiliki hak untuk memilih status yang paling sesuai. Sebagian besar hanya mengikuti data yang dimasukkan HRD tanpa mengecek ulang. Akibatnya, beberapa keluarga bisa saja akhirnya membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya. Simulasi penelitian menunjukkan bahwa perubahan status pajak bisa menghasilkan selisih beban pajak yang signifikan—informasi yang sayangnya jarang diketahui perempuan.
Rendahnya literasi pajak ini dipengaruhi banyak faktor. Pajak dianggap rumit, penuh istilah teknis, dan membuat orang malas mempelajarinya. Perusahaan pun jarang memberikan edukasi tentang status pajak kepada karyawan yang menikah. HRD biasanya hanya menginput data sesuai dokumen tanpa menjelaskan dampaknya. Sementara itu, sistem self-assessment Indonesia memberikan kebebasan bagi wajib pajak untuk menentukan sendiri, yang justru bisa menyulitkan jika pemahaman teknis tidak cukup kuat.
Yang menarik, sebenarnya banyak perempuan ingin memahami pajak lebih baik. Dalam wawancara, beberapa responden mengaku ingin belajar tetapi bingung harus mulai dari mana. Ada yang mencoba mencari informasi tetapi kesulitan karena bahasanya terlalu teknis. Sebagian lainnya menyampaikan bahwa layanan informasi DJP belum memberikan panduan yang spesifik bagi perempuan menikah, terutama soal hal-hal praktis seperti menentukan WPOP pusat jika suami-istri sama-sama bekerja, bagaimana jika penghasilan istri lebih besar, atau apakah status pajak otomatis mengikuti suami. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti ini jarang dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti.
Padahal, literasi pajak sangat terkait dengan kemandirian finansial perempuan. Ketidaktahuan soal hak dan kewajiban pajak bisa membuat potongan gaji jadi tidak akurat, penghasilan bersih keliru, hingga berujung pada kesalahan SPT. Dalam jangka panjang, hal ini memengaruhi kemampuan perempuan mengelola keuangan keluarga. Sebaliknya, perempuan yang memahami cara kerja PPh 21, tahu perbedaan status pajak suami-istri, dan bisa menentukan strategi pelaporan yang paling efisien akan lebih mampu mengoptimalkan beban pajak keluarga. Pengetahuan ini memberi mereka kontrol lebih besar atas pendapatan, pengeluaran, dan perencanaan keuangan rumah tangga.
Penelitian 2025 menyimpulkan bahwa perempuan Jakarta memang punya kesadaran pajak yang tinggi, tetapi belum diimbangi dengan kemampuan teknis yang memadai. Sikap positif mereka belum ditopang informasi yang mudah dipahami, minimnya sosialisasi yang relevan, dan budaya administrasi yang membuat perempuan cenderung pasif dalam urusan pajak. Karena itu, peningkatan literasi pajak harus fokus pada edukasi yang aplikatif, mudah dipahami, dan sesuai dengan kebutuhan.
Untuk meningkatkan pemahaman pajak perempuan, dibutuhkan pendekatan edukasi yang lebih manusiawi dan praktis, bukan sekadar teori. Materi perlu menjelaskan dengan jelas bagaimana pajak memengaruhi gaji, cara menghitung PTKP, menentukan WPOP pusat, sampai langkah memeriksa SPT sesuai kondisi keluarga. Keterlibatan komunitas perempuan, peran HRD yang lebih proaktif, dan pemanfaatan platform digital yang lebih ramah pengguna bisa membantu perempuan lebih percaya diri mengurus pajaknya sendiri. Langkah-langkah ini bukan hanya meningkatkan literasi pajak, tetapi juga memperkuat posisi perempuan dalam membuat keputusan keuangan keluarga.
Pada akhirnya, sebelum bingung dengan potongan gaji yang tiba-tiba naik, mungkin sudah saatnya perempuan mengecek kembali seberapa jauh mereka memahami pajak. Pengetahuan pajak bukan hanya soal memenuhi kewajiban negara, tetapi juga tentang mengendalikan keuangan, menjaga stabilitas keluarga, dan merencanakan masa depan dengan lebih matang. Dengan pemahaman yang baik, perempuan dapat membuat keputusan finansial yang lebih tepat, mengelola pendapatan dengan percaya diri, dan memastikan strategi pajak keluarga berada pada posisi yang paling menguntungkan.



