Perguruan Tinggi Kita Dalam Ujian Idealisme - Telusur

Perguruan Tinggi Kita Dalam Ujian Idealisme


Telusur.co.id - Oleh : Drs. H. Azkar Badri, M.Si. The RAWAS (Riset Apresiasi Warga Dan Sosial) Institute, Yayasan Pataka

Dalam satu bulan terakhir ini,  dunia Perguruan Tinggi kita banyak diperbincangkan di kalangan intelektual, politisi dan Masyarakat Pemerhati Sosial, lantaran Rektor Universitas Indonesia (UI) sebuah universitas ternama, Prof. Ari Kuncoro, SE, MA, PhD merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama representasi dari Komisaris Independen pada BUMN plat merah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dia ditetapkan dalam Jabatan Wakil Komisaris Utama ini berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST), 18 Februari 2020, sudah sekitar 1,5 tahun.

Menurut Praktisi Hukum, pengangkatan ini tidak sah, karena sewaktu diangkat masih memakai atau merujuk pada aturan  Statuta Universitas Indonesia (UI) yang lama, Peraturan Pemerintah (PP) No.68 tahun 2013, pasal 36 yang berbunyi, Rektor dan Wakil Rektor, Sekretaris Universitas dan Kepala Badan dilarang Rangkap Jabatan, pada point C, Pejabat pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah maupun swasta. Point terakhir pada pasal ini lebih memperjelaskan,  tidak boleh menjadi Pejabat pada jabatan lain yang memiliki pertentangan kepentingan dengan UI.

Untuk memuluskan keputusan politik ini, tanggal 2 Juli 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Statuta UI yang baru dengan Peraturan Pemerintah, PP No.75 tahun 2021, langsung diundangkan oleh Menkumham, Yasona Laoly pada hari bersamaan. Tapi persoalannya, landasan hukum ini tidak bisa berlaku surut. Jaka sembung juga, diangkat 18 Februari 2020, PP yang baru, 2 Juli 2021. 

Redaksi materi hukum dalam PP yang baru, Pasal 35 menjadi Pasal 39. Point C, kata *Pejabat* diganti dengan kata *Direksi*. Jadi yang dilarang Rangkap Jabatan pada jabatan Direksi. Kemudian ada diktum point terakhir dalam pasal ini yang dianggap mengganggu juga dalam kebijakan ini, diganti dengan redaksi baru sama sekali. Diganti dengan jabatan rangkap yang tidak boleh adalah menjadi Pengurus/Anggota Partai Politik atau organisasi yang berafiliasi secara langsung dengan Partai Politik. Padahal dalam konteks materi pelarangan pada peraturan yang lama tersebut,  umum berlaku atau tercantum pada semua statuta universitas. Jadi perubahan redaksional materi hukum pada ketentuan yang sangat umum ini, terkesan lucu dan didipaksakan.

Maksudnya dengan perubahan tersebut, bisa melenggang masuk jajaran Kursi Komisaris BUMN untuk sang Rektor. Diperbolehkan dan tidak termasuk klasifikasi Rangkap Jabatan. Hanya Kursi Direksi yang tidak diperbolehkan, masuk kategori Rangkap Jabatan. Begitulah.

Tapi langkah ini tidak bisa menyelesaikan masalah. Image yang timbul pasti terkesan, pemerintah terlalu memaksa kemauan. Tabrak dulu urusan belakangan.  Peraturan dianulir nanti. Ada apa di balik kengototan itu, bukankah juga agenda untuk membungkam suara mahasiswa dari kampus besar ini. Penjinakan pilar demokrasi dari suara mahasiswa melalui pintu pimpinan universitas, Rektor. Nah gimana ini.

Dan lebih jauh lagi dampaknya, menyeret konsepsi perguruan tinggi yang dilandasi idealisme kepada pragmatisme, materialisme dan borjuisme. Ini alamat kehancuran lembaga Perguruan Tinggi sebagai tempat menempah intelektual muda yang punya idealisme, sebagai potensi/aset bangsa untuk membawa Indonesia ke depan lebih maju dalam tatanan dunia global serba kompetitif. 

Terlalu naif kita mengorban kelompok elite generasi muda ini yang menjadi harapan bangsa. Mereka ini adalah bagian kecil generasi muda yang sempat mengenyam pendidikan tinggi, hanya 10,3% dari total generasi usia 15 tahun ke atas yang berjumlah 137,91 juta orang. Tanpa mereka kepada siapa lagi taruhan harapan itu diletakkan.

Kemudian mundurnya Prof. Ari Kuncoro dari jabatan Wakil Komisaris Utama tidak serta-merta selesai semua persoalan, terutama pertanggungjawaban intelektual dalam dunia akademis yang bukan hanya lingkup Universitas Indonesia (UI ) tetapi juga lingkup dunia intelektual secara umum. Pak Prof ini mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama pada 22 Juli 2021. Mungkin persoalan tidak terlalu ribet, jika Prof. Ari memilih mundur dari Jabatan sebagai Rektor dan meneruskan jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama. 

Dalam konteks dunia kampus, sasana penggodokan dan lahir para intelektual, tentu ada banyak saldo persoalan yang meliputi : 

Pertama, Dia mundur atas desakan publik, terutama kalangan kampus. Mundur bukan kesadaran pribadi, tetapi karena terpaksa. Pemahaman orang tidak ada kesadaran intelektual dan moral, bahwa perbuatan yang telah diambil ini salah.  Muaranya pada pembohongan publik. Padahal seorang profesor pasti tahu itu sebuah kesalahan besar. Dan orang tidak akan pernah meragukan mumpuninya seorang yang punya gelar intelektual pada level tertinggi yang diakui dunia. Dari kesalahan ini sudah cukup alasan bagi Majlis Wali Amanat (MWA) mengadakan rapat untuk mengevaluasi kembali, dilanjut atau tidak sisa masa kepemimpinan Prof. Ari Kuncoro 3 tahun ke depan, 2024 sebagai Rektor UI.

Kemunduran ini sudah dalam waktu yang cukup panjang, sudah makan waktu 1,5 tahun. Ditetapkan tanggal 18 Februari 2020. Mundur, 22 Juli 2021. Uang gaji sudah dinikmati selama ini, dalam bahasa pengelolaan uang pemerintah. Ini berupa Temuan, harus dikembalikan bersama sanksinya. Konon perbulan sekitar Rp. 419 juta belum termasuk Tantiem dan Bonus. Cukup menggiurkan memang. Ini urusan pak Prof. Ari Kuncoro pada pertanggungjawaban keuangan negara dan urusannya dengan Tuhan. Ini mungkin lebih ke privasinya.

Juga ini semacam pengkhianatan amanah, sewaktu menawarkan konsep untuk kemajuan UI dalam  pemilihan kandidat calon Rektor. Visinya yang diusung : Menuju UI yang Inovatif, Mandiri, Unggul, Inklusif dan Bermartabat. Dia terpilih dalam voting Majlis Wali Amanat (MWA) di Kampus UI Depok, 25 September 2018, untuk masa waktu 2019-2024. Setelah dipercayakan untuk mengemban amanah terutama yang termaktub dalam peraturan statuta universitas ini, ternyata jabatan yang tidak boleh dirangkap terabaikan.

Jabatan Komisaris sudah  menjadi rahasia umum, jabatan sarat dengan muatan politis. Apalagi Komisaris dari unsur Independen. Baik politik balas budi maupun politik penjinakan. Khawatir kalau muatan deal politik bermuara kepada melemahkan semangat kritisme mahasiswa.

Dengan kata lain akibatnya, sudah masuk kategori cacat moralitas dan cacat idealisme. Kedua hal ini menjadi modal dasar untuk sebuah kepemimpinan di lembaga pendidikan tinggi, tempat mencetak para intelektual muda yang punya idealisme untuk masa depan Indonesia. Tabik.


Ciputat, 27 Juli 2021.


Tinggalkan Komentar