POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBELUM DAN SESUDAH UU CIPTA KERJA (11-HABIS) - Telusur

POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBELUM DAN SESUDAH UU CIPTA KERJA (11-HABIS)


Telusur.co.idOleh: Dr. H. Joni,SH.MH***

Sinkronisasi dan Harmonisasi

SAAT INI terdapat sekitar 42 ribu aturan yang mencakup UU, Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri (Permen), samapi dengan Peraturan Gubernur (Pergub), Walikota dan Bupati di daerah. Diantara ribuan peraturan tersebut, terdapat peraturan yang saling tumpang tindih bahkan ada yang berkontradiksi. Implikasi dari permasalahan tersebut adalah pemerintah akan lambat dalam membuat kebijakan atau mengambil keputusan.

Peraturan seharusnya dapat mewujudkan tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan di dalam kehidupan masyarakat. Yang terjadi saat ini justru semakin memperlebar disparitas antara das sollen (apa yang seharusnya) dan das sein (realita yang terjadi).

Presiden Joko Widodo hendak menyelesaikan permasalahan tersebut dengan metode omnibus law. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A. Gamer disebutkan omnibus : relating to or dealing with numerous object or item at once ; including many thing or having varius puporses, di man artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Bila digandeng dengan kata law yang maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua. Contohnya TEA-21 yang mengatur mengenai jalan raya federal, keamanan jalan raya, transit dan program transportasi lain. Konsep atau metode tersebut sebenarnya disambut baik oleh beberapa Pakar Hukum Tata Negara seperti Refly Harus, ia mengatakan, “Penerapan omnibus law bisa segera dilakukan karena sangat baik untuk membentuk aturan yang ramping dan harmonis.

Namun, sayangnya cita-cita mulai Presiden Joko Widodo tersebut tidak cukup dimanifestasikan dengan baik. Buktinya masih banyak pihak yang menilai omnibus law Cipta Kerja tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya bahkan dengan UUD Tahun 1945. Setelah UU tersebut disahkan (2 November 2020) dan diberi nomor UU No. 11 Tahun 2020, banyak pihak yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani (KSPSI AGN) adalah salah satu contoh pihak yang telah mengajukan judicial review ke MK. Ia menyoroti beberapa pasal yang merugikan kaum buruh. Contohnya adalah Pasal 88 C ayat (1), ia beranggapan bahwa pasal tersebut akan memberi upah murah kepada buruh karena upah minimum provinsi dan/atau kabupaten/kota ditentukan oleh gubernur.

Ada juga dari DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS), dengan dasar dokumen UU Cipta Kerja yang mereka pegang—Pasal 81 ayat (15) dinilai bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD Tahun 1945 karena telah menghilagkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan, dan pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu; Pasal 81 ayat (19) yang menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja; dan pasal 81 angka 25 mengakibatkan perhitungan upah minimum lebih rendah ketimbang PP 78/2015.

Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review ke MK membuktikan bahwa UU Cipta Kerja ini tidak sinkron dengan UUD Tahun 1945 dan harmonis dengan UU sederajat lainnya. Sangat disayangkan ketika sebenarnya metode yang digunakan sudah mumpuni tetapi aktualisasinya justru menjadi bumerang bagi tata peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Catatan Penutup

Dengan begitu besar potensi di sektor kelautan dan perikanan sudah patut pengelolaan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) agar sumber daya alam yang ada dapat dinikmati tidak hanya sekarang tapi juga untuk masa depan. Sayangnya, UU Cipta Kerja tidak menunjukkan semangat yang sama. UU Cipta Kerja mengisyaratkan percepatan investasi dengan mengabaikan aspek pelindungan daya dukung eko­sistem, serta kepentingan kelompok masyarakat marjinal di sektor kelautan dan perikanan. Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan atas revisi UU Perikanan pada UU Cipta Kerja;

Pertama, UU Cipta Kerja telah mengubah esensi dari izin lingkungan sebagai instrumen pencegahan atas pencemaran dan kerusakan ekosistem lingkungan hidup. Sebab, UU Cipta Kerja mengubah izin menjadi persetujuan lingkungan.

Kedua, perizinan yang sederhana di UU Cipta Kerja dikhawatir­kan akan mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut. Tanpa bermaksud mengecilkan pentingnya perizin­an yang sederhana untuk pertumbuhan ekonomi; hal itu dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekosistem serta minim kontrol atau kendali yang dapat menjaga tingkat pemanfaatan.

Ketiga, adanya pengecualian dalam UU Cipta Kerja atas kewa­jiban penetapan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dan/atau peninjauan kembali terhadap perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan jika terdapat kebijakan nasional bersifat strategis akan mengabaikan esensi perencanaan tata ruang sebagai instrumen yang memperhatikan daya dukung ekosistem. Dampak dari mene­gasikan esensi  dari Rencana Tata Ruang dan/atau Rencana Zonasi ini tentunya akan berpotensi menimbulkan kerugian baik terhadap masyarakat maupun ekosistem.

Keempat, dihapuskannya ketentuan mengenai Komnaskajiskan dalam UU Cipta Kerja akan mengurangi esensi sains yang merupa­kan elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan. Alih-alih melakukan revisi untuk menguat­kan peran Komnasjiskan untuk memberikan dasar kebijakan berba­sis bukti, UU Cipta Kerja justru menghapuskan peran tersebut.

Kelima, pengawasan dalam UU Cipta Kerja yang menggunakan pendekatan risk based monitoring dikhawatirkan akan membuat pe­merintah atau aparat penegak hukum akan kehilangan kemampuan untuk melakukan pendeteksian pelanggaran oleh kegiatan yang ber­isiko rendah atau menengah.

Begitu juga dengan sanksi, UU Cipta Kerja mengutamakan sanksi administratif daripada sanksi pidana. Akan tetapi, sanksi pidana hanya diberlakukan saat sanksi denda administratif tidak di­bayarkan, bukan berdasarkan pertimbangan apakah sanksi adminis­tratif sudah menimbulkan efek jera atau belum. Dengan demikian, pendekatan sanksi pidana untuk memberikan efek jera tidak akan tercapai selama pemberiannya hanya jika pelaku tidak sanggup membayar sanksi administratif yang dijatuhkan, bukan tingkat ker­usakan yang diakibatkan.

Perlu dicatat juga perubahan konsep strict liability terhadap pelaku yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggu­nakan bahan berbahaya dan beracun (B3), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Perubahan ini akan mempersulit pen­egakan hukum untuk menjerat pelaku karena unsur kesalahannya harus dibuktikan dulu meskipun telah nyata terjadi kerusakan terh­adap lingkungan hidup.

Berdasarkan hal di atas. Dalam kerangka menjaga potensi perikanan dan hasil laut agar bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteran rakyat, pemerintah perlu merevisi kembali UU Cipta Kerja, sehingga tidak hanya berorientasi pada kemudahan berinvestasi saja, dan mengindahkan dampak kerusakan lingkungan, karena UU Cipta Kerja mengisyaratkan percepatan investasi dengan mengabaikan aspek pelindungan daya dukung eko­sistem, serta kepentingan kelompok masyarakat marjinal di sektor kelautan dan perikanan* (HABIS)


*** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro,  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.


Tinggalkan Komentar