Refleksi HUT RI ke-80: Persimpangan Sejarah: Orang Betawi, Kemerdekaan, dan Arah Masa Depan - Telusur

Refleksi HUT RI ke-80: Persimpangan Sejarah: Orang Betawi, Kemerdekaan, dan Arah Masa Depan


Oleh : Roni Adi, SE., MM, Founder Perkumpulan Betawi Kita | Ketua Dewan Pakar KNTI Kota Batam | Dosen Prodi Perdagangan Internasional ITEBA | Dosen di Institut Teknologi Batam.

Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 pada tahun 2025, bangsa ini akan kembali merenungkan perjalanan panjangnya—sebuah epik perjuangan, pengorbanan, dan pembangunan. Di jantung epik tersebut, Jakarta berdiri sebagai panggung utama; kota yang memproklamasikan kemerdekaan dan menjadi urat nadi bangsa.

Namun, dalam hingar bingar perayaan, sering kali kita luput merenungkan nasib pemilik asli panggung itu: masyarakat Betawi. Kisah mereka adalah sebuah paradoks yang tajam—sebuah komunitas yang memainkan peran sentral dalam denyut kebangsaan dan api revolusi, kini justru terhimpit di persimpangan jalan sejarah di tanah kelahirannya sendiri.

Perjalanan orang Betawi adalah cerminan perjalanan Indonesia dalam skala mikro. Mereka lahir dari perpaduan, berjuang untuk identitas, memberikan kontribusi tak ternilai bagi kemerdekaan, dan kini menghadapi tantangan eksistensial di tengah modernisasi.

Refleksi 80 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi tidak lengkap tanpa memahami posisi, peran, dan kondisi masyarakat Betawi. Ini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang bertanya: ke mana arah masa depan bagi para pahlawan yang terpinggirkan ini, seiring Jakarta sendiri bersiap melepaskan statusnya sebagai ibu kota negara?

Lahirnya Identitas di Rahim Kosmopolitanisme Paksa

Untuk memahami peran Betawi dalam kemerdekaan, kita harus kembali ke asal-usul mereka yang unik. Identitas Betawi tidak lahir dari satu garis keturunan tunggal, melainkan ditempa dalam "rahim kosmopolitanisme" sejak adanya transaksi perdagangan antar-bangsa di kota bandar Kalapa dan Sunda Kalapa Pajajaran hingga Batavia di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Nama "Betawi" sendiri menurut beberapa pakar merupakan evolusi lafal lokal dari "Batavia". Mereka adalah masyarakat kreol, produk dari peleburan berbagai kelompok etnis yang didatangkan atau bermigrasi ke kota pelabuhan itu sejak abad ke-17.

Darah mereka adalah "gado-gado" Nusantara dan dunia: Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Ambon, Melayu, berpadu dengan Tionghoa, Arab, India, Portugis, hingga Belanda.

Dalam kancah percampuran ini, ajaran Islam memainkan peran krusial sebagai "perekat" yang menyatukan beragam elemen etnis di bawah satu payung komunitas yang kohesif. Meskipun proses ini berlangsung lama, pengakuan formal "Betawi" sebagai sebuah suku bangsa baru menguat pada awal abad ke-20, ditandai dengan pendirian organisasi Pemoeda Kaoem Betawi pada tahun 1923.

Paradoks "pribumi" Betawi terletak di sini. Mereka adalah penduduk asli Jakarta secara geografis, tetapi secara etnologis, mereka adalah produk kawin-mawin fisik maupun kebudayaan yang semakin diperkuat di era kolonial. Asal-usul hibrida ini menjadi sumber kekayaan budaya yang luar biasa, namun di sisi lain, juga menjadi titik rentan dalam klaim mereka sebagai "tuan rumah" di era modern.

Suara dan Jiwa dalam Pergerakan Nasional

Ketika benih-benih kesadaran kebangsaan mulai bersemai, putra-putri Betawi tidak tinggal diam. Mereka tampil di panggung nasional melalui berbagai medium, dari politik parlementer hingga alunan melodi yang menggugah jiwa.

Di panggung politik, nama Mohammad Hoesni Thamrin bergema sebagai "Singa dari Volksraad". Lahir dari keluarga neo-priyayi dengan darah Betawi dan Eropa, Thamrin menggunakan posisinya di Dewan Rakyat kolonial bukan untuk berkompromi, melainkan untuk menjalankan strategi "radikalisme kooperatif".

Ia secara gigih memperjuangkan nasib rakyat jelata di perkampungan kumuh, menuntut pembangunan infrastruktur dasar, dan melindungi para pejuang non-kooperatif seperti Soekarno.

Puncaknya adalah ketika pada tahun 1939, ia mengusulkan di Volksraad agar istilah kolonial yang merendahkan seperti Nederlands Indie dan Inlander diganti dengan istilah nasionalis: Indonesia, Indonesisch, dan Indonesier. Langkah berani ini menunjukkan bahwa seorang elite Betawi menjadi salah satu arsitek utama dalam membangun identitas verbal bangsa.

Jika Thamrin membangun pilar politik, maka Ismail Marzuki membangun fondasi emosional bangsa. Lahir di Kwitang, komponis legendaris ini menciptakan lebih dari 200 lagu yang menjadi soundtrack perjuangan kemerdekaan. Karya-karyanya seperti "Rayuan Pulau Kelapa", "Halo, Halo Bandung", dan "Indonesia Pusaka" melampaui status karya seni; mereka menjadi lagu kebangsaan tak resmi yang membakar semangat dan memungkinkan jutaan orang untuk "merasakan" Indonesia sebagai sebuah tanah air bersama.

Melalui melodinya yang menyentuh dan lirik puitisnya, seorang seniman Betawi menerjemahkan ide-ide abstrak tentang bangsa menjadi sesuatu yang nyata dan personal.

Partisipasi kolektif mereka juga terukir dalam sejarah melalui Pemoeda Kaoem Betawi. Kehadiran wakil mereka, Mohammad Rochjani Soe'oed, dalam kepanitiaan Kongres Pemuda Kedua pada tahun 1928 adalah bukti nyata. Dengan ikut serta dalam momen yang melahirkan Sumpah Pemuda, para pemuda Betawi secara sadar menempatkan identitas kesukuan mereka di bawah payung identitas nasional Indonesia yang lebih besar.

Api Revolusi: Aliansi Ulama dan Jawara

Ketika perjuangan beralih dari diplomasi ke pertempuran fisik (1945-1949), peran masyarakat Betawi bergeser ke perlawanan bersenjata di garis depan. Tulang punggung perlawanan rakyat di Jakarta dan sekitarnya digerakkan oleh kepemimpinan simbiotik yang unik: aliansi antara Ulama dan Jawara.

Para ulama, seperti K.H. Noer Ali di Bekasi dan Guru Mansur di Jakarta, memberikan legitimasi spiritual pada perjuangan. Mereka membingkai perlawanan mempertahankan kemerdekaan sebagai jihad fi sabilillah (perang suci di jalan Tuhan), sebuah seruan yang sangat efektif untuk memobilisasi massa santri dan masyarakat umum ke dalam laskar-laskar seperti Hizbullah dan Sabilillah.

Di sisi lain, para Jawara—tokoh yang disegani karena keahlian bela diri (main pukul) dan keberaniannya—menyediakan kekuatan tempur dan kepemimpinan taktis di lapangan.

Sosok seperti Haji Darip di Klender, yang merupakan seorang ulama sekaligus jawara, berhasil mengubah apa yang oleh Belanda dicap sebagai "dunia perbanditan" menjadi kekuatan patriotik yang terorganisir. Laskar-laskar rakyat seperti Laskar Rakyat Djakarta Raya pimpinan Imam Syafei (Bang Pi'i) dan Barisan Rakyat (BARA) pimpinan Haji Darip menjadi kekuatan tempur utama yang menghadang laju pasukan Sekutu dan NICA.

Fusi antara otoritas keagamaan ulama dan kekuatan fisik jawara inilah yang menciptakan gerakan perlawanan rakyat yang tangguh dan sulit dipatahkan di sekitar Jakarta. Mereka tidak hanya melawan tentara, tetapi melawan seluruh tatanan sosial yang telah dipersenjatai untuk perang.

Ironi Pembangunan: Terpinggir di Negeri Sendiri

Setelah kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata diraih, ironisnya, masyarakat Betawi justru menghadapi ancaman eksistensial terberat. Pembangunan masif dan urbanisasi yang tak terkendali di Jakarta memicu proses marginalisasi yang sistemik.

Proyek-proyek infrastruktur dan properti komersial menggusur perkampungan-perkampungan Betawi, sementara mata pencaharian tradisional mereka seperti bertani dan berkebun lenyap ditelan beton.

Proses ini dapat digambarkan sebagai "kekerasan struktural". Model pembangunan Jakarta yang berorientasi pada modal secara inheren tidak berpihak pada komunitas Betawi. Aset utama mereka, yaitu tanah, terdevaluasi di hadapan modal finansial dan keahlian modern yang lebih banyak dimiliki pendatang.

Dihadapkan pada tekanan ekonomi, banyak yang terpaksa menjual tanah warisan, yang uangnya sering kali habis untuk kebutuhan konsumtif, menjerumuskan mereka ke dalam siklus kemiskinan baru. Akibatnya, mereka terdesak ke wilayah pinggiran Jakarta atau bahkan ke kota-kota penyangga.

Tantangan ini merembet ke ranah budaya. Bahasa Betawi mengalami penurunan daya hidup, meskipun beberapa kosakatanya seperti "gue" dan "lu" diadopsi menjadi bahasa gaul nasional. Lebih parah lagi adalah fenomena komodifikasi budaya, di mana simbol-simbol sakral dilucuti dari maknanya untuk tujuan ekonomi.

Contoh paling menyedihkan adalah Ondel-ondel. Dahulu sebuah figur ritual penolak bala yang sakral, kini Ondel-ondel lebih sering dijumpai di jalanan sebagai sarana mengamen.

Upaya pelestarian oleh pemerintah, seperti Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2015 dan pendirian Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, memang patut diapresiasi. Namun, kebijakan ini sering kali dikritik karena bersifat superfisial, cenderung menciptakan "etalase" atau "museum" budaya yang terkurasi, namun gagal menyentuh akar masalah sosio-ekonomi masyarakatnya.

Pelestarian sejati justru berdenyut di tingkat akar rumput, melalui sanggar-sanggar seni yang berjuang dengan sumber daya terbatas untuk menjaga agar budaya tetap hidup, bukan sekadar pajangan.

Jakarta Pasca-Ibu Kota: Renaisans atau Kemunduran?

Kini, sejarah kembali menempatkan masyarakat Betawi di sebuah persimpangan krusial. Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Nusantara adalah titik balik yang akan mendefinisikan ulang masa depan Jakarta. Peristiwa ini menghadirkan tantangan sekaligus peluang emas.

Tantangan utamanya adalah risiko perlambatan ekonomi Jakarta, yang dapat memperburuk kondisi masyarakat Betawi yang sudah rentan. Namun, di sisi lain, terlepasnya Jakarta dari beban sebagai "ibu kota negara" membuka peluang luar biasa untuk sebuah "Renaisans Betawi".

Selama ini, identitas Jakarta selalu dibayangi perannya sebagai miniatur Indonesia. Kini, Jakarta memiliki ruang untuk menemukan kembali jiwa lokalnya yang otentik, dengan budaya Betawi sebagai intinya. Wacana untuk mengangkat budaya Betawi sebagai citra baru Jakarta, bahkan usulan mengubah nama provinsi, adalah momentum yang harus ditangkap.

Pertanyaannya menjadi fundamental: akankah orang Betawi menjadi pilar utama identitas baru Jakarta sebagai kota global, atau justru menjadi penduduk asli yang terlupakan dari sebuah kota pasca-industri yang memudar?. Jawabannya bergantung pada langkah strategis yang diambil hari ini, baik oleh pemerintah maupun oleh komunitas Betawi sendiri.

Menuju Masa Depan: Merajut Kembali Benang Merah Sejarah

Peringatan 80 tahun kemerdekaan adalah momen yang tepat untuk membayar utang sejarah kepada masyarakat Betawi. Sekadar perayaan seremonial atau pelestarian budaya yang bersifat "etalase" tidak akan cukup. Diperlukan sebuah transformasi pendekatan yang holistik.

Pemerintah perlu beralih dari model proyek terpusat ke model "ekosistem" yang memberdayakan komunitas dari bawah ke atas. Ini berarti memberikan dukungan langsung yang berkelanjutan kepada sanggar-sanggar seni di akar rumput, yang merupakan garda terdepan pelestarian. Lebih krusial lagi, setiap program budaya harus diintegrasikan dengan pemberdayaan ekonomi yang nyata. Memberikan pelatihan kewirausahaan dan akses modal kepada para pelaku budaya akan memutus siklus kemiskinan yang mendorong komodifikasi.

Bagi komunitas Betawi, tantangannya adalah mengkonsolidasikan kekuatan untuk menerjemahkan modal budaya menjadi pengaruh politik yang riil, terutama dalam menyongsong era baru Jakarta. Inovasi budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur, bukan komodifikasi dangkal, adalah kunci agar tradisi tetap relevan.

Kisah orang Betawi adalah pengingat bahwa kemerdekaan tidak hanya direbut, tetapi juga harus dirawat isinya. Semangat juang M.H. Thamrin di parlemen, jiwa kebangsaan dalam lagu Ismail Marzuki, dan perlawanan para ulama-jawara di palagan Jakarta adalah warisan yang terlalu berharga untuk dibiarkan terkikis oleh zaman. Menjamin masa depan yang bermartabat bagi masyarakat Betawi adalah cara terbaik bagi bangsa ini untuk menghormati para pahlawan yang telah melahirkannya, memastikan bahwa di tanah merdeka ini, tak ada lagi "pahlawan yang terpinggirkan".


Tinggalkan Komentar