Ribuan Warga Israel Kabur Lewat Taba, Picu Kemarahan Rakyat Mesir - Telusur

Ribuan Warga Israel Kabur Lewat Taba, Picu Kemarahan Rakyat Mesir

Warga Israel mau kabur ke luar negeri lewat Mesir. Foto: Istimewa

telusur.co.id - Ribuan warga Israel dilaporkan menyeberang ke Mesir melalui perbatasan Taba dalam beberapa hari terakhir menyusul serangan rudal Iran yang menghantam sejumlah wilayah strategis di negara Zionis. 

Namun, keputusan pemerintah Mesir untuk mengizinkan masuknya pengungsi Israel yang mau kabur ke luar negeri, memicu gelombang kemarahan di dalam negeri.

Taba, kota kecil di pesisir Sinai yang berbatasan langsung dengan Israel, kini menjadi rute pelarian utama warga Israel, termasuk diplomat, ekspatriat, dan warga asing. Banyak dari mereka kemudian melanjutkan perjalanan melalui Bandara Sharm el-Sheikh menuju Eropa dan tujuan lain.

Langkah cepat pemerintah Mesir dalam menyediakan “koridor aman” diapresiasi oleh sejumlah kedutaan asing di Kairo. Seorang sumber diplomatik Eropa mengatakan kepada The New Arab bahwa Kementerian Luar Negeri Mesir “menangani permintaan evakuasi dengan profesionalisme tinggi” dan bahwa koordinasi dilakukan secara langsung dengan lembaga-lembaga keamanan negara.

Namun, sikap terbuka Mesir terhadap pengungsi Israel memicu reaksi tajam dari publik. Para aktivis, analis, dan warganet mempertanyakan bagaimana mungkin Mesir memberi perlindungan kepada warga Zionis, sementara di saat yang sama menutup pintu bagi warga Palestina yang berupaya melarikan diri dari bombardir Israel di Gaza dan Tepi Barat.

“Ini adalah paradoks moral yang menyakitkan,” ujar seorang aktivis HAM Mesir di Kairo. “Warga Palestina yang kelaparan dan terluka dibiarkan di gerbang Rafah, tapi pengungsi Israel disambut dengan hotel di Sinai.”

Mohamed Saif Al-Dawla, pendiri kelompok Egyptians Against Zionism, mengecam keras perlakuan istimewa yang diberikan kepada warga Israel, menyamakannya dengan sistem hak istimewa kolonial yang berlaku pada masa pendudukan Inggris.

“Pemfasilitasan masuknya warga Israel ke Sinai saat ini mengingatkan kita pada sistem capitulations di masa penjajahan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perjanjian bilateral tahun 1989 yang memungkinkan wisatawan Israel masuk ke Sinai Selatan tanpa visa, tinggal selama 14 hari tanpa biaya masuk, serta melewati pemeriksaan bea cukai secara minimal

“Bahkan setelah Mesir memenangkan sengketa perbatasan Taba pada 1988, tidak pernah ada evaluasi serius terhadap pengaturan ini,” kata Al-Dawla.

Ia memperingatkan bahwa kehadiran warga Israel bukan hanya ancaman demografis, tapi juga risiko spionase dan infiltrasi lunak.

Sementara itu, para pejabat pariwisata Mesir mengakui bahwa lonjakan hunian hotel di Taba dan Sharm el-Sheikh tidak membawa dampak ekonomi berarti. “Sebagian besar hanya singgah satu-dua malam sebelum terbang ke tujuan lain. Ini tidak menguntungkan secara ekonomi,” ujar seorang pejabat lokal.

Di sisi lain, media sosial dipenuhi dengan komentar kontras. Banyak warga Israel menyatakan kenyamanan mereka tinggal di Sinai meski dalam kondisi perang. “Kami merasa sangat aman di sini. Hidup harus terus berjalan,” tulis Guy Shilo, warga Israel, dalam grup “Lovers of Sinai”.

Namun, narasi berbeda datang dari Asosiasi Warga Mesir di Israel, yang menyoroti perlakuan tidak setara terhadap warga Mesir sendiri. Dalam sebuah unggahan, mereka menyatakan bahwa warga Mesir yang tinggal di Israel kesulitan menyeberang kembali ke tanah airnya sendiri.

“Kebebasan bergerak adalah hak sederhana yang diberikan kepada warga Israel, tapi ditolak bagi kami sendiri,” tulis pernyataan mereka.

Ironi di Tengah Krisis

Sementara Mesir membuka pintunya bagi warga Israel yang melarikan diri dari rudal Iran, warga Palestina yang terkepung di Gaza tetap ditolak keluar melalui perbatasan Rafah.

Israel telah memblokir seluruh bantuan ke Gaza sejak Maret 2024, dan ratusan warga Palestina terbunuh saat berusaha mendapatkan bantuan makanan dari titik distribusi yang dikendalikan oleh lembaga yang disetujui Israel dan AS.

Kemarahan publik Mesir mencerminkan ketegangan yang lebih dalam: dilema moral dan politik tentang posisi Mesir di tengah konflik Israel–Palestina, serta bagaimana kepentingan strategis sering kali mengorbankan solidaritas kemanusiaan.[Nug] 


Tinggalkan Komentar