telusur.co.id -Oleh: Penulis : Gustina Nurma Larasati, Politeknik Negeri Jakarta.
Di tengah riuh kehidupan kota yang tak pernah benar-benar berhenti, Ia duduk di sudut kafe, menatap jendela yang memantulkan bayangan samar. Bukan bayangan langit mendung atau lalu-lalang pejalan kaki. Bayangan itu adalah dirinya sendiri atau lebih tepatnya, satu dari tiga dirinya. Seseorang yang dunia kenal sebagai pribadi ceria dan mudah akrab. Tapi di balik senyuman itu, tersembunyi dua sisi lain yang tak pernah benar-benar terlihat.
Dalam kesehariannya, ia menjadi sosok yang cepat menyesuaikan diri. Di tempat kerja, ia adalah sang perfeksionis disiplin, sistematis, dan nyaris tak pernah terlihat goyah. Di lingkungan sosial, ia berubah jadi badut yang selalu punya cerita lucu dan siap menertawakan diri sendiri. Namun ketika malam menjelang, dan suara tawa memudar, yang tersisa hanyalah ia yang duduk diam di depan cermin berbicara pada bayangan yang bahkan tak lagi dikenalnya
Ada tiga versi yang tercermin di sana: satu yang disiplin dan terorganisir, satu lagi penuh tawa dan cerita, dan satu yang diam, nyaris tak bersuara. Ketiganya hidup dalam satu tubuh, satu kesadaran yang tak lagi bisa berpura-pura bahwa hanya satu yang nyata.
Peran yang Tumbuh dari Kehidupan
Peran pertama muncul di ruang kerja, tempat yang menuntut konsistensi, hasil maksimal, dan kendali emosi. Di sana, harus selalu terlihat kuat dan rasional. Segalanya dicatat rapi, waktu diatur dengan teliti, dan kesalahan dianggap musuh. Tapi siapa pun tahu, menjadi sempurna setiap hari adalah kelelahan yang tak tampak.
Peran kedua lahir di lingkaran pertemanan. Seseorang yang mudah mencairkan suasana, cepat menangkap selera humor, dan selalu punya cerita lucu untuk dibagikan. Tawa itu menyenangkan, namun kadang menjadi tameng dari rasa takut untuk terlihat rapuh. Di balik senyuman, ada kelelahan karena terus menjadi penghibur.
Dan peran ketiga? Ia tak muncul di sunyi yang berbicara. Ia hadir saat lampu kamar dipadamkan, saat tidak ada lagi yang harus dijelaskan. Ia adalah keheningan yang bertanya: “Benarkah ini hidup yang kau pilih? Atau hanya peran yang kau jalankan agar diterima?”
Psikologi Refleksi Diri: Mengapa Kita Bisa Memainkan Banyak Peran?
Kamu peran utama dalam hidupmu sendiri
( Foto : Freepik )
Kamu bisa jadi anak yang penurut di rumah, rekan yang profesional di kantor, teman yang menyenangkan di tongkrongan, bahkan pasangan yang sabar dalam hubungan. Tapi siapa kamu sebenarnya, di luar semua peran itu?
Psikolog sosial Erving Goffman pernah menggambarkan kehidupan manusia seperti panggung. Setiap orang punya “peran” yang dimainkan tergantung situasi dan siapa penontonnya. Kita belajar menyesuaikan, menyusun ekspresi, dan merespons harapan orang lain. Itu bukan hal yang salah. Tapi di balik semua peran itu, ada satu tokoh yang sering tak mendapat sorotan: diri kita yang sejati.
Dalam konteks ini, tiga peran bukanlah bentuk kepalsuan, tapi representasi dari identitas yang terbagi-bagi sesuai kebutuhan lingkungan. Stryker dan Burke (2000) menjelaskan bahwa identitas manusia tidak tunggal. Ia adalah gabungan dari berbagai peran sosial yang berubah sesuai dengan situasi dan interaksi. Maka wajar jika seseorang bisa menjadi sangat tegas di ruang kerja, jenaka di ruang sosial, dan rapuh di ruang pribadinya sendiri.
Namun, ketika peran-peran itu tak lagi terasa otentik, muncullah kebutuhan untuk berhenti sejenak untuk diam, mengamati, dan memaknai siapa sebenarnya yang sedang menjalani hidup ini.
Kita bisa memainkan banyak peran karena kita ingin diterima. Karena dunia terkadang lebih dulu menilai sebelum mendengar. Tapi tanpa refleksi, kita bisa terjebak dalam naskah yang bahkan tidak kita tulis sendiri.
Menerima Semua Versi Diri
Proses pulang ke diri sendiri bukan tentang memilih peran yang paling benar, melainkan mengakui bahwa semua peran itu adalah bagian dari satu identitas yang kompleks. Tidak ada satu pun yang lebih unggul. Peran yang disiplin menjaga arah. Peran yang jenaka menjaga keseimbangan. Peran yang sunyi menjaga kedalaman.
Dalam refleksi yang tulus, muncul pemahaman: kita tidak harus kuat setiap waktu. Kita boleh menolak peran yang melelahkan. Kita berhak memberi ruang bagi sisi-sisi diri yang selama ini terabaikan.
"Aku tidak harus memilih siapa yang harus kuperankan hari ini. Aku hanya perlu memberi ruang untuk semuanya agar tak saling membebani," tulis seseorang dalam jurnal pribadinya, sebuah catatan kecil yang perlahan membimbingnya memahami dirinya.
Refleksi diri bukan tujuan, tapi perjalanan. Ia tidak menuntut kesimpulan, hanya kejujuran. Dalam dunia yang serba cepat, yang menuntut versi terbaik dari setiap orang, barangkali yang dibutuhkan bukan jawaban, melainkan keberanian untuk mengajukan pertanyaan: “Apakah aku hidup sesuai pilihanku, atau hanya menjadi peran yang orang lain harapkan?”
Di ruang sunyi itu, tiga peran dalam satu tubuh kini saling menyapa, tak lagi bertengkar, tak lagi menyembunyikan satu sama lain. Di sana, tak ada tuntutan untuk menjadi satu wajah tunggal. Hanya ada penerimaan, bahwa menjadi manusia memang tak pernah sesederhana satu peran saja.