telusur.co.id - Kekhawatiran mulai tumbuh di kalangan pejabat tinggi Amerika Serikat seiring dengan laporan terbaru bahwa sistem pertahanan rudal canggih Israel mulai mengalami kelelahan pasokan. Di tengah terus berlanjutnya agresi militer terhadap Iran, Washington dilaporkan makin resah akan potensi keterlibatan langsung dalam perang berskala besar yang bisa menguras persediaan pertahanan global AS.
Dilansir Middle East Eye mengungkap bahwa sistem pencegat rudal balistik Israel, termasuk sistem mutakhir Arrow, kini mulai kehabisan stok akibat terus menerus digunakan untuk menghadapi gelombang serangan balasan Iran. Operasi balasan Iran bertajuk True Promise III, yang dimulai sejak 13 Juni 2025, telah menggasak fasilitas militer dan menggoyahkan benteng pertahanan udara Israel.
Arrow, sistem yang dikembangkan bersama antara AS dan Israel untuk menangkal rudal balistik jarak jauh, kini menjadi titik lemah. Mengisi ulang pencegatnya bukan hanya mahal—tapi juga memerlukan waktu dan sumber daya besar.
“Jenis pencegat ini sangat mahal dan produksinya tidak bisa digenjot dalam semalam,” ujar Dan Caldwell, mantan pejabat senior Pentagon, dalam kutipan laporan tersebut.
Washington mulai mempertimbangkan kemungkinan harus membagi stok senjata strategis AS untuk menambal kebutuhan Israel, terutama setelah keterlibatan dalam menahan serangan dari Yaman dan kini potensi babak baru konfrontasi langsung dengan Iran.
Kecemasan AS bukan tanpa alasan. Iran terbukti mampu meluncurkan gelombang rudal dan drone dengan presisi tinggi. Bahkan seorang pejabat pertahanan AS mengakui bahwa Angkatan Laut AS telah menggunakan sistem SM-3 berbasis kapal dari Laut Mediterania untuk menembak jatuh rudal Iran sebuah langkah yang menunjukkan kedalaman keterlibatan AS dalam konflik ini.
“Kita tidak tahu seberapa banyak lagi yang bisa diluncurkan Iran,” kata Josh Paul, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS yang mundur sebagai bentuk protes atas dukungan Washington terhadap operasi militer Israel di Gaza.
Sementara ketegangan meningkat, Presiden Donald Trump dikabarkan telah menggelar pertemuan darurat di Ruang Situasi Gedung Putih pada Selasa malam, hanya beberapa jam setelah melontarkan ancaman langsung kepada Iran.
Namun, langkah Trump menuai kritik tajam. Menurut sejumlah analis, Trump kini terjepit di antara tekanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan lobi Israel yang kuat di Washington. Meskipun para penasihat keamanannya memperingatkan bahwa serangan langsung terhadap Iran bisa memicu perang regional, Trump tampak condong pada pendekatan agresif.
Yang lebih mengkhawatirkan, Trump dilaporkan mengabaikan penilaian intelijen resmi dari Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, yang dengan tegas menyatakan bahwa Iran tidak sedang mengembangkan senjata nuklir—sebuah klaim yang kerap dijadikan pembenaran untuk serangan militer.
Tiga pejabat Arab yang terlibat dalam proses mediasi antara AS dan Iran menyampaikan kepada media Qatar bahwa peran Washington kini tak lagi bisa disembunyikan. “Amerika bukan lagi penengah mereka adalah pihak yang turut berperang,” kata salah satu pejabat.
Dengan sistem pertahanan yang melemah, stok pencegat menipis, dan tekanan diplomatik meningkat, dunia kini menyaksikan konstelasi berbahaya yang bisa menyeret kawasan dan kekuatan global ke dalam konflik militer terbuka.[]
Sumber:TNA