Temuan CIVICUS Monitor, Ruang Sipil di Indonesia Terhalang - Telusur

Temuan CIVICUS Monitor, Ruang Sipil di Indonesia Terhalang

Ilustrasi. Foto Net

telusur.co.id - Laporan baru CIVICUS Monitor menunjukkan ruang sipil tetap 'terhalang' di Indonesia dan mayoritas negara di Asia mengekang kebebasan sipil.

Di Asia, serangan terhadap masyarakat sipil dan kebebasan fundamental terus berlanjut di tengah pandemi global. Data yang dirilis hari ini oleh CIVICUS Monitor menunjukkan bahwa dari 25 negara di Asia, empat - termasuk China, Vietnam, Laos dan Korea Utara - dinilai 'tertutup' (closed), sembilan 'terkekang' (repressed) dan sembilan 'terhalang' (obstructed). Ruang sipil di Korea Selatan dan Jepang dinilai sempit, sedangkan Taiwan adalah satu-satunya negara yang diberi peringkat terbuka (open).

People Power Under Attack 2020, sebuah laporan tahunan dari CIVICUS Monitor, adalah sebuah kerja kolaborasi penelitian global yang menilai dan melacak penghormatan terhadap kebebasan fundamental di 196 negara, menunjukkan bahwa kualitas kebebasan fundamental sedang mundur di seluruh dunia: 87 persen populasi dunia sekarang tinggal di negara tertutup (closed), terkekang (repressed) atau terhalang (obstructed). Tren ini tercermin di Asia, di mana hak-hak sipil menurun:

“Penelitian kami menunjukkan bahwa kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, terus dilanggar di seluruh Asia. Persentase orang yang tinggal di negara-negara Asia dengan ruang sipil tertutup, terkekang, atau terhalang hampir 90 persen,” kata Josef Benedict, Peneliti Asia-Pasifik untuk CIVICUS.

Di Indonesia, di mana ruang sipil dinilai 'terhalang', CIVICUS Monitor telah mendokumentasikan penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) untuk menuntut individu, termasuk jurnalis dan mereka yang menggunakan media sosial atau platform online lainnya untuk tulisan atau pernyataan kritis mereka. Undang-undang pencemaran nama baik juga digunakan untuk menindak kritik publik atas tanggapan pemerintah terhadap wabah COVID-19. Puluhan orang didakwa karena diduga menyebarkan "berita palsu" tentang virus corona.

Pihak berwenang Indonesia terus menuntut puluhan aktivis politik pro-kemerdekaan yang mengekspresikan agendanya secara damai di Papua. Pada Juni 2020, tujuh aktivis Papua dinyatakan bersalah melakukan makar dan dijatuhi hukuman hingga 11 bulan penjara atas keterlibatan mereka dalam aksi unjuk rasa anti-rasisme pada Agustus 2019. Mereka yang dikenal sebagai "Balikpapan Tujuh", dihukum atas protes yang dipicu oleh video viral di mana mahasiswa Papua disebut "monyet" dan menjadi sasaran ejekan rasis lainnya. Aktivis yang berbicara tentang pelanggaran (hukum) yang berat di Papua Barat menjadi sasaran serangan digital, kampanye kotor, dan pengawasan. Taktik yang digunakan termasuk doxing, peretasan akun media sosial, dan gangguan diskusi online.

Aktivis lingkungan terus dikriminalisasi di Indonesia. Pada Maret 2020, polisi menangkap James Watt dan Untung serta Dedi Sasanto dari kelompok lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di Kalimantan Tengah. Para aktivis terlibat dalam penolakan perampasan tanah oleh sebuah perusahaan. Pada April 2020, aktivis Hermanus Bin Bison, yang ditangkap pada Februari 2020 karena memanen buah kelapa sawit dari lahan yang diklaim komunitasnya di Kalimantan Tengah, meninggal dalam tahanan setelah tidak mendapatkan perawatan medis.

Pada bulan Oktober 2020, ketika pekerja dan mahasiswa berdemonstrasi di seluruh Indonesia menentang UU Cipta Kerja (Omnibus Law), sebuah undang-undang yang kontroversial - yang menurut para kritikus akan mengikis perlindungan pekerja, memicu ketidakamanan hak atas kerja  dan menghapus perlindungan lingkungan - kelompok masyarakat sipil juga telah mendokumentasikan penangkapan sewenang-wenang, penggunaan kekerasan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa dan jurnalis, serta perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat pengunjuk rasa selama mereka ditahan. Sedikitnya 28 kasus penyerangan terhadap jurnalis oleh anggota polisi selama demonstrasi juga turut dilaporkan.

Menurut  laporan terbaru CIVICUS Monitor, pelanggaran utama atas kebebasan politik dan sipil di Asia termasuk penggunaan undang-undang yang membatasi dan mampu dipakai untuk mengkriminalisasi baik kepada para pembela maupun mereka yang penentang hak asasi manusia, penyensoran, pelecehan terhadap aktivis dan kritikus, dan tindakan keras terhadap protes adalah bentuk bentuk yang menonjol dari penghalangan kebebasapn sipil.

Di seluruh Asia, pihak berwenang menggunakan hukum yang kejam untuk merongrong kebebasan fundamental dan membungkam perbedaan pendapat. Undang-undang yang berkaitan dengan keamanan nasional, ketertiban umum, dan pidana pencemaran nama baik paling sering digunakan untuk membungkam oposisi.

Setidaknya di 16 negara, pembela hak asasi manusia dituntut. Di negara China, di mana ruang sipil dinilai tertutup, sejumlah aktivis, pengacara, dan kritikus ditahan atas tuduhan yang tidak jelas dan terlalu luas. Partai Komunis juga meningkatkan kontrol kendalinya di Hong Kong. Di Kamboja, pemerintah Hun Sen telah menggunakan undang-undang 'penghasutan' untuk menuntut puluhan aktivis oposisi, sedangkan di Bangladesh, Undang-Undang Keamanan Digital adalah senjata pilihan yang digunakan oleh pihak berwenang untuk menargetkan pekerja media, aktivis, akademisi, pelajar, dan siapa pun yang mengkritik. penanganannya terhadap pandemi.

Penyensoran merupakan ancaman besar lainnya bagi kebebasan sipil dan demokrasi di Asia. Negara China mengerahkan rezim sensornya yang ekstensif untuk memblokir situs web asing, menutupi penganiayaan di Xinjiang dan Tibet, serta menyensor artikel dan postingan media sosial tentang virus corona. Di Pakistan, pihak berwenang berusaha membungkam outlet media seperti The Dawn Media Group dan The Jang Media Group atas pelaporan kritis mereka, serta memblokir konten online. Di Thailand, pihak berwenang menggunakan keputusan darurat yang disahkan untuk menangani pandemi untuk menargetkan outlet media yang meliput protes pro-demokrasi di negara tersebut.

CIVICUS Monitor juga khawatir dengan laporan pelecehan online dan offline terhadap aktivis dan jurnalis. Vietnam terus melecehkan mereka yang mengkritik rezim satu partai termasuk aktivis dan blogger. Banyak yang diawasi, atau ditahan selama berbulan-bulan tanpa akses ke penasehat hukum dan menjadi sasaran interogasi yang kejam. Di Sri Lanka, aktivis dan keluarga korban yang mencari pertanggungjawaban atas kejahatan selama perang saudara telah diintimidasi dan diawasi.

Di seluruh Asia, pengunjuk rasa terus membela hak-hak mereka, meskipun ada risiko dan pembatasan. Di banyak negara, protes diganggu dan pengunjuk rasa ditangkap atau menghadapi kekerasan yang berlebihan tanpa mendapat hukuman. Di Hong Kong, para pemimpin protes pro-demokrasi terus ditangkap dan didakwa. Di Myanmar, puluhan orang yang memprotes perampasan tanah dan penutupan internet telah dituntut, sementara di Thailand pihak berwenang meningkatkan tindakan keras mereka terhadap protes demokrasi yang dipimpin pemuda.

“Pemerintah di Asia telah menggunakan undang-undang yang membatasi untuk mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia dan pengkritik selama setahun, dengan pandemi memberikan perlindungan yang mudah terhadap pengawasan. Sensor gaya China sedang meningkat dengan negara-negara yang menargetkan aktivis dan jurnalis yang mengekspos pelanggaran negara termasuk penanganan COVID-19. Aktivis juga menghadapi berbagai bentuk pelecehan termasuk pengawasan, kampanye kotor dan serangan kebebasan berpendapat di digital, dan protes terus berlanjut.”

Lebih dari dua puluh organisasi telah bekerja sama dalam CIVICUS Monitor untuk memberikan pembuktian tindakan pembatasan ruang kebebasan sipil di seluruh benua. CIVICUS Monitor telah memasukkan data lebih dari 500 informasi aktual terkait kualitas dan kondisi ruang sipil pada tahun lalu, yang turut dianalisis dalam People Power Under Attack 2020. Ruang sipil di 196 negara dikategorikan sebagai tertutup (closed), terkekang (repressed), terhalang (obstructed), dipersempit (narrowed) atau terbuka (open), berdasarkan metodologi yang menggabungkan beberapa sumber data tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi secara damai. [ham]


Tinggalkan Komentar