Telusur.co.id -Oleh: Falisha Syauqie Alnaira dan Siti Zahra Irawati, mahasiswa Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.

Di tengah kesibukan metropolitan Jakarta, perempuan yang sudah menikah memegang peran penting sebagai penggerak ekonomi keluarga sekaligus kota. Penelitian terbaru justru mengungkap sesuatu yang mengejutkan. Mereka memiliki tingkat kesadaran pajak yang sangat tinggi, bahkan melebihi yang selama ini dibayangkan banyak orang. Namun, di balik kepatuhan itu, masih ada simpul-simpul kusut yang belum terurai.

Artikel ini mengurai bagaimana perempuan Jakarta yang sudah menikah memiliki kesadaran pajak yang tinggi, tetapi masih kesulitan memahami detail aturan dan prosedur perpajakan yang mereka hadapi. Meskipun mereka percaya bahwa pajak adalah bagian penting dari kontribusi kepada negara, kemampuan teknis mereka dalam menghitung, melapor, dan mengelola dokumen pajak ternyata masih terbatas. Melalui temuan penelitian, artikel ini menyoroti kesenjangan antara kepatuhan moral dan kapasitas dalam menjalankan kewajiban perpajakan, serta menjelaskan mengapa “simpul-simpul pajak” yang mereka hadapi perlu dilonggarkan melalui edukasi dan sistem yang lebih ramah.

Dari total 393 wanita yang sudah menikah di Jakarta, sebanyak 84,7 persen memiliki tingkat kesadaran tinggi dalam perpajakan, terlihat dari kemampuan mereka memahami kewajiban perpajakan serta memperkirakan konsekuensi jika tidak memenuhinya. Mereka juga cukup mampu menilai apakah selama ini telah mematuhi ketentuan perpajakan dengan benar dan memahami dampaknya terhadap jumlah pajak yang harus dibayar.

Meskipun kesadarannya tinggi, pengetahuan mereka mengenai aturan pajak masih berada pada level “cukup baik” atau sedang. Proporsi responden dengan tingkat literasi sedang dan rendah yang lebih besar dibandingkan tingkat literasi tinggi menunjukkan bahwa pemahaman perpajakan masih belum optimal. Perempuan yang sudah menikah di Jakarta umumnya mengetahui pendapatan apa saja yang dikenai pajak dan memahami aturan dasarnya, tetapi belum menguasai peraturan teknis secara mendalam.

Kemampuan mereka dalam menjalankan kewajiban pajak sehari-hari juga menunjukkan pola serupa. Mereka mengetahui bahwa pajak harus dibayar dan dilaporkan, tetapi belum sepenuhnya mampu melakukannya secara mandiri. Banyak yang masih mengandalkan kantor, suami, atau orang terdekat untuk mengurus dan menghitung pajak atau sekadar menyimpan bukti potong. Situasi ini menunjukkan bahwa keterampilan praktis mereka dalam mengelola pajak perlu terus dikembangkan agar menjadi lebih mandiri.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keputusan perempuan menikah di Jakarta terkait penggunaan NPWP apakah bergabung atau terpisah dengan suami masih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Sebanyak 48,6 persen dari 393 wanita kawin di Jakarta menentukan pilihan berdasarkan masukan atau pengalaman orang terdekat seperti teman dan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa bagi sebagian perempuan, keputusan perpajakan tidak hanya ditentukan oleh pemahaman aturan, tetapi juga dibentuk oleh cerita, saran, dan pengalaman dari orang di sekitar mereka. Di sisi lain, 51,4 persen sudah mulai bersikap lebih mandiri dengan mengambil keputusan berdasarkan pemahaman dan pertimbangan pribadi, yang menunjukkan adanya perkembangan dalam kemandirian mereka sebagai wajib pajak.

Meskipun demikian, masih ditemukan banyak kekeliruan dalam memahami ketentuan NPWP bagi wanita kawin. Beberapa perempuan membuat NPWP hanya karena permintaan administrasi atau kantor, tanpa benar-benar memahami apakah mereka wajib memilikinya. Situasi ini sering berujung pada denda akibat tidak melaporkan SPT, padahal sebagian dari mereka tidak memiliki penghasilan di atas PTKP. Kondisi ini memperlihatkan bahwa proses pemaknaan pajak belum sepenuhnya terbentuk. Banyak keputusan perpajakan yang masih didorong oleh tuntutan eksternal, bukan pemahaman internal yang kuat, sehingga membuat mereka rentan melakukan kesalahan administratif.

Di balik tantangan tersebut, terdapat sisi positif dari cara mereka memaknai pajak. Banyak perempuan yang sudah menikah di Jakarta melihat pajak sebagai bentuk kontribusi terhadap negara dan pembangunan. Mereka cenderung patuh bukan hanya karena kewajiban, tetapi karena merasa itu memang hal yang benar. Walaupun sebagian keputusan perpajakan masih dipengaruhi rasa takut terkena denda atau mengikuti perilaku orang di sekitar, nilai moral mereka sangat kuat, terbukti dari kecenderungan untuk menolak penghindaran pajak dan tetap patuh meski tidak diawasi. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi sikap mereka sudah baik, hanya saja masih diperlukan edukasi dan pendampingan lebih lanjut agar pemahaman dan kemampuan teknis mereka berkembang menjadi lebih matang.

Selain edukasi formal, penting untuk membuka lebih banyak ruang diskusi di lingkungan sosial perempuan. Temuan bahwa hampir setengah dari mereka menentukan pilihan pajak berdasarkan cerita atau saran orang sekitar menunjukkan bahwa komunitas punya pengaruh besar. Karena itu, informasi yang beredar di lingkup ini harus benar dan mudah dipahami. Program seperti kelas pajak, konten edukatif yang relevan untuk ibu rumah tangga maupun pekerja, hingga kampanye yang menjelaskan ketentuan NPWP bagi wanita kawin dapat membantu memperkuat pemahaman mereka. Dengan akses informasi yang lebih ramah dan dekat dengan keseharian, perempuan bisa menjadi wajib pajak yang mandiri dan lebih percaya diri dalam mengurus pajaknya sendiri.