Oleh: Suroto 

SEMENJAK lulus kuliah, Sani lontang lantung tak karuan di Jakarta. Entah apa yang dia cari. Tapi Sani optimis bahwa Jakarta lah yang akan mengubah hidupnya. Mengubah nasib hidup anak seorang petani kecil itu. 

Di Jakarta ia hidup menumpang di kost teman. Kadang kala tidur di sekretariat kantor organisasi pusat ekstra kampusnya dulu. Makan kas bon di warteg. Kalau hari sedang mujur dibayari makan di restaurant mewah oleh seniornya di organisasi. 

Jika tumpukkan kas bon itu sudah semakin menggunung dan berulang kali ditagih pemilik warung maka Sani berusaha membayarnya dengan berutang pada teman teman atau ikut menjual proposal kegiatan organisasinya ke pejabat pejabat mantan senior di organisasinya. Dari hasil penjualan proposal itu kalau beruntung dia bisa menyelipkan uang lumayan untuk melunasi kas bon di Warteg. 

" Kamu tinggal dimana Sani? " tanya Marwan seniornya. 

" Di Tebet bang, di Selmis". 

" Oh di sekre ya? "

" Bukan bang, di mess ". 

" Oh Ok. Kau makan dulu lah, kamu bantu bantu kanda kerjakan proyek di Kementerian ya....", jawab Marwan sembari memberi salam tempel ke Sani.

Sani hatinya girang, walaupun belum dia lihat apa yang menempel di tanganya. Tapi dia hapal betul dengan tektur kertas itu. Apalagi ketika dia rasakan ketebalanya. "Waaah lumayan nih. Bisa buat lunasin kas bon Warteg, bayar kost dan traktir Ninda pacarku yang baru untuk makan di Resto Makcomblang di Kemang ", gumam dia dalam hati. Nasib baik memang tak kemana. 

-------

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Jakarta yang keras dan kejam itu telah dia lewati semua. Sampai sampai dia juga sudah melewatkan pulang kampung hingga Lebaran lima kali.

Ibunya sudah lama merindukan kepulanganya, tapi Sani tak memberikan kabar secuilpun. Bahkan ketika ibunya dikabarkan teman dari kampungnya sedang sakitpun dia tetap kekeuh. " Ah sakit kan biasa...semua orang pasti sakit. Saya harus kejar kesuksesan dulu". Tekad pantang pulang sebelum sukses. 

Sani, telah melewati masa masa sulit itu. Menjadi intelektuil lumpen. Menganggur dan tidak punya pekerjaan jelas. Sekarang Sani sudah punya Perusahaan Pengadaan Barang Dan Jasa sendiri. Namanya PT. Sani Manunggal Sejahtera Bersama. 

Sani memang tipe optimis. Dia percaya bahwa dirinya adalah pemuda terpilih. Dia yakin bahwa bekal pengalaman organisasinya di masa kuliah dan juga jaringan senior seniornya yang sudah sukses mentereng jadi pejabat pejabat teras di republik ini akan datangkan keberuntungan baginya.  

Dia begitu yakin apa yang dikatakan seniornya. Pesanya selalu tergiang ngiang. " Kemauan yang keraslah yang akan mampu mengubah hidup kita, bahkan kondisi masyarakat. Kemauan lah yang akan datangkan kesempatan dan kesempatan yang akan bukakan keberuntungan". 

Kata kata itu selalu mengiang di pikiranya dan membuatnya sampai mengantarkanya hingga saat ini. Menjadi salah satu pemain proyek Kementerian yang sukses. 

Ketika tak sepeserpun uang ada di kantongnya, ketika mau makan sudah ketakutan ditagih pemilik Warteg, kata kata itulah satu satunya obat penyemangatnya selama ini. Kata kata itulah yang menjadi pengobat patah semangat dan patah hatinya karena ditinggal kekasihnya Kania yang selingkuh dengan pemuda yang tajir melintir anak konglomerat. 

Dia yakin, jika terus tetap bertahan dengan segala pahit getir Ibukota, justru disitulah dia akan dapatkan peluang untuk sukses. Dia yakin kalau satu saat akan jadi anggota Parlemen, atau jadi Menteri seperti senior seniornya. Sani mempercayainya seperti dogma agama. Tetap optimis dan yakin usaha sampai. Dia juga selalu ingat apa yang dibaca dari salah satu Novel Kalil Gibran. " Siapa yang mampu menerima penderitaan dengan lapang dada, maka dia akan dimudahkan untuk menerima kebahagiaan". 

Nyatanya memang Sani telah melampaui derita sebagai intelektuil lumpen itu. Masa masa sulit itu. 

--------

Pagi ini seluruh proposal kegiatan administrasi proyek siap. Sani sebentar lagi akan segera ketemu seorang direktur di Kementerian. 

Segepok proposal sudah dirapikan oleh anak buahnya. Lebih tepatnya anak magang. Anak itu bertugas merapikan semua administrasi proyek di kantornya yang mentereng di salah satu gedung di Kawasan Sudirman. Proyek kegiatan judul yang sangat panjang "Penyusunan Silabi Pemberdayaan Dan Peningkatan Kapasitas Pendidik Luar Sekolah Di Era Digital ". Semacam kegiatan Focus Group Discussion.

Proposal harus betul betul rapi. Standardnya sudah ditentukan. Sampai sedetil detilnya. Terutama persyaratan yang menjadi " kuncian". Maksudnya kuncian itu semacam persyaratan tertentu yang kira kira akan sulit dipenuhi oleh pesaing lelang kegiatan lainya. Sebab kalau sampai " kuncianya" lolos maka proyek bisa lepas. 

Pagi ini dia harus mendetilkan ulang pembicaraan proyek dengan salah satu direktur di Kementerian. 

" Mohon izin, mohon maaf Bapak...kami sudah siapkan semua proposalnya, mohon arahan? " , kata Sani membuka pembicaraan. 

" Semua sudah beres kan ? Sampai kuncian kuncianya? ", Kata Pak Direktur itu. 

" Siap Bapak, semua sudah beres sesuai arahan, termasuk sampai detil bagi hasil nanti. Semua sudah kami bicarakan dengan Bu Kabid". 

" Ok. Sip". 

Rapat berjalan lancar. Proposal sudah diterima. Artinya Sani sudah harus memberikan sekian fee untuk Pak Direktur. Semacam hedging proyek sebagai tanda komitmen. 

Sani memang pemain proyek yang lihai. Semua direktur dia kenal. Dia paham semua kesukaan direktur direktur itu. Dari selera makanya dimana, tempat karoke favoritnya, dan tipe tipe gadis penghibur untuk menemani bermalam di hotel setelah para direktur itu mabuk mabukan dan karoke. 

Tutur bahasa Sani begitu sangat halus dan sopan. Setiap mau bicara apapun kepada para direkrur direktur itu selalu dia pastikan dengan kata kata awali dengan kata " mohon maaf, mohon izin". 

Sani juga tak sungkan sungkan untuk mencium tangan sebagai tanda hormat. Berlebihan sih. Tapi itu sudah jadi semacam standard cara dia merayu dan melayani orang orang yang memang dia anggap akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Dia juga pastikan kepada staf stafnya di kantor jika berhubungan dengan para pejabat pemberi proyek. Anak buahnya semua paham dan mengikuti arahan Sani. Termasuk kepada anak anak magang seperti dirinya dulu. 

Sani mulai menjadi orang kepercayaan pejabat. Koneksinya terus meluas. Kalau dulu waktu masih awal hanya kenal seorang pejabat sekelas Kabid, sekarang dia sudah kenal banyak direktur. Bahkan sangat dekat dengan beberapa orang Menteri yang dulu jadi seniornya di organisasi ekstra kampus. 

"Tutt....Tuttttt....Tutttt......", ada nomor asing memanggil di nomor Sani. Dia heran siapa ini. Pikir dia adalah perusahaan investasi yang kerap menyasar tawarkan produk investasi padanya. 

" Halo....siapa nih?? " , jawab dia agak ketus dan sedikit malas. 

" Halo....le ...ini saya ibumu...kamu sehat sehat kan? kamu baik baik to le??". 

Sani terkaget setengah mati. Tapi dia tak berdaya untuk menjawabnya. Suara itu sangat dia hapal. Ibunya. 

" Iya Bu.....maaf ya Bu....maafkan Sani yang sudah lama untuk tidak beri kabar ya Bu. Maafkan Sani ya Bu..". 

" Ndak apa apa Le....yang penting kamu sehat dan doa ibu semoga kamu sukses....". 

" Iya Bu....tapi maaf ini saya harus lanjut rapat dulu...". 

" Iya Le....saya senang kalau kamu sukses...".

" Ya sudah ya Bu....", Sani menutup pembicaraan.

Oh Ya Tuhan. Siapa yang berikan nomor saya pada Ibu ku??. Sani mulai mencari cari tahu. "Mungkin Reno...ya ...pasti Reno...dasar anak kurang ajar", pikir Sani. Dia begitu jengkel sekali. Sebab dia harus mengganti nomornya. 

---- 

Waktu terus berjalan, semua citra sukses sudah diraih oleh Sani. Ya dia sekarang bukan Sani yang tinggal di Mess kumuh di Tebet. Tapi dia adalah eksekutif muda yang sangat gagah perlente. Tinggal di kawasan elit di daerah PIK. Mobilnya dari semua merek barang mewah ada di rumahnya. Jaguar sampai Robicon.  

Dia tak hanya jadi kepercayaan orang orang sekelas direktur. Tapi dia dipercaya oleh para konglomerat. Dia sekarang jadi penghubung antara para konglomerat dengan menteri menteri seniornya. Dia sekarang sudah merangkap pekerjaan. Formalnya dia selain sebagai pebinis adalah sebagai Staf Khusus Menteri.

Dia sekarang tak lagi kerjakan proyek kecil sekelas Focus Group Discussion. Tapi dia adalah penghubung pemenangan lelang proyek Infrastruktur. Pembangunan jalan Tol, Bandara, Kawasan Industri dan lain lain. 

Dia sekarang tak hanya punya satu kantor. Jabatanya juga tak hanya satu. Dia ya pengusaha sukses, staf khusus menteri, ketua banyak Asosiasi, dari asosiasi pedagang kecil hingga asosiasi eksekutif muda progresif. Dia juga ketua organisasi kepemudaan. 

Kantornya ada dimana-mana. Perusahaanya juga banyak.Bahkan di kantor kantor para konglomerat itu dia disediakan ruang dan staf.  

Sani kemana-mana tak lagi menenteng proposal. Tapi banyak orang ingin sodorkan proposal padanya. Siapapun yang ingin jumpa harus lewat sekretaris pribadinya. Dia tak bisa dihubungi langsung oleh orang orang yang tak dikenalnya. Dia hanya bisa ditelpon langsung oleh para konglomerat konglomerat dan menteri menteri itu. 

" Mohon maaf Pak Sani...mohon izin bicara....", kata Asisten pribadinya Nina menyapanya pagi ini. 

" Ada apa Nina...." jawab Sani. 

"Maaf pak. Ada yang mau ketemu. Katanya teman lama bapak dari kampung", lanjut Nina dengan sikap menunduk sopan. 

" Nina...saya sudah bilang....jangan sembarangan kamu ladeni orang untuk ketemu. Apalagi orang yang tidak saya kenal", jawab Sani setengah marah. 

" Baik Bapak...tapi orangnya menitipkan ini juga pak", jawab Nina sembari mundur dan menaruh amplop surat kecil agak lusuh di meja Bosnya. 

----

Hari terus berlalu. Sani menjadi begitu hebatnya. Dia begitu sangat produktif. Dia begitu terkenal dan selalu jadi narasumber di televisi untuk bahas urusan urusan kerakyatan dan politik. 

Berkat kekuatan jaringan organisasinya dan juga dukungan senior seniornya, dan dukungan para konglomerat konglomerat itu dia berhasil duduk menjadi anggota DPR RI. Dia bahkan banyak menjadi penghubung antara ketua partai, menteri dan para konglomerat yang ingin dapatkan proyek pengadaan infrastruktur dan juga bangun perusahaan tambang dan perkebunan. Dia dipercaya oleh Partai terbesar di republik sebagai ketua Fraksi. 

Rumah mewahnya tak hanya satu. Dia punya istri satu. Tapi selingkuhanya banyak. Salah satunya adalah Kania yang dulu sempat menikah dengan anak konglomerat tapi sudah diceraikan. 

----

Sore ini tidak seperti sore hari sebelum sebelumnya. Sani tak terlihat ceria. Dia terlihat murung sekali di kantornya. Dia begitu gelisah. Dia hanya duduk termangu di kursi kantornya. Dia terlihat sangat gelisah....sesekali dia buka buka arsip di làcinya. Lalu duduk lagi dan seperti sedang berfikir keras. 

Kabar berita di banyak media online ternyata yang membuatnya gelisah. Salah satu headline koran cetak juga terlihat menulis berita " Seorang Ketua Organisasi Kepemudaan Diduga Terkait Skandal Korupsi Pembangunan Bandara". Dia begitu resah karena dia tahu siapa maksudnya. Inisialnya juga sudah sangat jelas. ST. Itu artinya Sani Trenggono. Namanya. Nama yang dia dapatkan dari orang tuanya di desa. 

Dia tiba-tiba teringat dengan sepucuk surat yang ditaruh oleh Asisten Pribadinya. Dia coba ambil dan buka sembari duduk di kursi. 

Dia terlihat begitu kaget ! lalu tatapanya melotot ke tulisan dalam surat itu....dan entah kenapa tiba tiba dia berubah menjadi begitu sedih. Dia menangis sejadi jadinya.... sesunggukkan dengan nafas tersengal senggal.....

" Ya Alloh.......maafkanlah aku ....maafkanlah aku Ya Alloh......

". Sani terus menangis...sesekali membaca ulang isi surat tanda masih tak percaya. Sepucuk surat itu dia peluk begitu eratnya sembari bersandar lemas di kursi. Dia terlihat begitu lemas. Dia tak lagi punya daya. 

Poertorico, 26 Februari 2023