Bayi Norwegia punya Tabungan, Bayi Indonesia punya Hutang - Telusur

Bayi Norwegia punya Tabungan, Bayi Indonesia punya Hutang


Telusur.co.id -Oleh: Fitria Nurma Sari, Dosen Perbankan Syariah Universitas Ahmad Dahlan.

Ada ucapan menarik yang dilontarkan oleh salah satu Hakim MK, Arief Hidayat yang menyebutkan perbedaan privilege antara bayi yang lahir di Indonesia dengan bayi yang lahir di Norwegia. Ketika bayi yang lahir di Norwegia otomatis dijamin negara melalui berbagai jejaring sosial. Berbeda dengan Indonesia justru menanggung beban utang negara dengan nilai total ribuan triliun rupiah. Ia belum bisa menangis dengan lantang, tetapi sudah memikul dosa fiskal yang tidak pernah ia pilih. 

Perbandingan ini seperti mengada-ngada, namun kenyataannya itulah yang terjadi dan jarang diucapkan oleh para pejabat negara ini. 

Norwegia merupakan contoh nyata dimana negara mampu memanfaatkan sumber daya alam bukan sebagai kesempatan untuk mengeruk sebanyak-banyaknya. Sumber daya alam adalah titipan generasi selanjutnya bukan hak monopoli generasi saat ini. Sejak minyak dan gas ditemukan di Laut Utara, Norwegia tidak tergoda untuk mengurasnya untuk belanja jangka pendek. Mereka lebih memilih untuk mendirikan Government Pension Fund Global (GPFG). 

Lembaga tersebut adalah dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) terbesar di dunia yang dikelola oleh Bank Sentral Norwegia untuk menginvestasikan surplus pendapatan dari industri minyak dan gas Norwegia secara global. GPFG memiliki fungsi untuk meneruskan kekayaan negara tersebut agar bisa dinikmati generasi mendatang. Fungsi lainnya adalah meredam fluktuasi harga minyak yang bisa mengguncang ekonomi nasional. 

GPFG adalah sumber pendanaan untuk menopang berbagai layanan publik seperti pendidikan gratis, kesehatan berkualitas, jaminan sosial yang memberikan dukungan finansial bagi individu yang kehilangan pendapatan karena berbagai alasan. GPFG juga memberikan jaminan Manfaat Keluarga dengan setiap anak menerima tunjangan anak bulanan. Bahkan orang tua yang memilih tinggal di rumah dengan anak kecil juga mendapatkan tunjangan lainnya

Artinya setiap bayi Norwegia diberikan “hak masa depan” yang telah disiapkan negara. Norwegia tidak hidup dari hutang, tetapi dari hasil pengelolaan kekayaan negara. 

Indonesia sendiri terlalu sinis jika disebut miskin. Kita punya tambang, hutan, bibir pantai terpanjang di dunia, ditambah bonus demografi. Tetapi yang membedakan Indonesia dan Norwegia bukan potensi kekayaan, yang membedakan kita adalah cara pengelolaannya. 

Indonesia menjadikan hutang sebagai salah instrumen utama keuangan negara. Defisit anggaran selalu ditutup dengan pinjaman baru. Hutang Indonesia di akhir tahun 2025 diperkirakan akan menyentuh angka Rp 9.600 triliun akibat defisit APBN tahun ini. Indonesia mengambil utang untuk membayar utang lama. Akibatnya beban fiskal semakin besar membuat ruang fiskal tidak leluasa mengembangkan pendidikan, kesehatan, apalagi inovasi. 

Bayi yang lahir akan langsung menanggung kurang lebih Rp 33 juta dan memiliki kewajiban untuk ikut membayar hutang yang tidak pernah ia setuju.

Pemerintah Indonesia sering beralasan tidak mungkin dibandingkan dengan negara barat seperti Norwegia karena konteks yang berbeda. Itu bisa dipahami. Namun kita juga perlu mengetahui ada yang salah dengan prioritas kebijakan yang ada di negara kita. Yang membuat sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa menjadi negara maju. 

Anggaran negara lebih condong untuk membangun proyek mercusuar daripada menata masa depan generasi sehingga banyak kalangan mempertanyakan arah pembangunan. Ketika alam diekstrak lalu dijual, masyarakat lokal menanggung dampak lingkungannya sementara keuntungan diambil segelintir pihak. Sampai titik ini keadilan antar generasi dikorbankan. 

Negara seolah-olah dikelola hanya untuk hidup hari ini, bukan untuk esok. 

Ini bukan soal ekonomi, tapi juga menyangkut moral. Apakah adil jika kita yang sekarang membuat kebijakan yang pada akhirnya mewariskan utang kepada generasi setelah kita? Apakah pantas kita mengeruk alam sedemikian rupa dan menikmatinya tanpa memberikan legasi yang baik untuk masa depan?

Norwegia menjawab dengan nyata. Indonesia masih sibuk bergelut dengan politisasi kebijakan dan kerakusan oknum-oknum degan logika “yang penting sekarang tumbuh”. 

Alangkah lebih bijak jika Indonesia tidak sekedar mengejar pertumbuhan angka di laporan tahunan yang membuat utang bertambah terus menerus. Negara harus berani untuk menegakkan hukum yang adil bagi mereka yang culas dalam mengeruk sumber daya. Negara harus keras pada mereka yang egois agar generasi selanjutnya bisa lebih terjamin kesejahteraannya. 

Dengan modal yang ada negara harus bisa membangun instrumen tabungan negara yang serius, dan tidak lupa memanfaatkan sumber daya alam dengan adil. Generasi mendatang bukan angan-angan tapi harus menjadi pusat kebijakan. 

Negara ideal adalah negara yang bisa menjamin warganya, menjamin generasi setelahnya, bukan memberikan warganya beban utang yang besar. 

Adalah sebuah fitrah, ketika seorang bayi lahir yang tercipta adalah harapan, bukan tagihan.


Tinggalkan Komentar