Cukai Minuman Berpemanis, Penerimaan Negara, dan Dampaknya pada Lapangan Kerja: Dilema Kebijakan yang Kompleks - Telusur

Cukai Minuman Berpemanis, Penerimaan Negara, dan Dampaknya pada Lapangan Kerja: Dilema Kebijakan yang Kompleks


Telusur.co.id -Penulis: Muhammad Fariz, mahasiswa Universitas Indonesia, Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal.

Bayangkan memiliki semua kekayaan di dunia, namun tanpa kesehatan, semuanya  terasa hampa. Itulah gambaran kondisi dunia saat ini, di mana kesehatan menjadi sumber  kekhawatiran utama. Di era modern, topik kesehatan menjadi sorotan dan tantangan besar yang  perlu dihadapi oleh semua pihak. Kesehatan, yang mencakup kesejahteraan fisik dan mental,  adalah aspek kehidupan yang sangat berharga dan tak ternilai. Salah satu isu kesehatan yang  sering diperbincangkan adalah penyakit diabetes melitus. Penyakit ini bukan hanya menjadi  perhatian global, tetapi juga menempati posisi penting dalam daftar masalah kesehatan di  Indonesia. Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang sering menjadi perhatian di  Indonesia. 

Berdasarkan data WHO tahun 2021, diabetes melitus menempati urutan kedelapan  sebagai penyebab kematian tertinggi secara global. Di Indonesia, data dari BPJS Kesehatan  tahun 2019 menunjukkan bahwa diabetes berada di peringkat ketiga sebagai penyebab utama  kematian akibat penyakit. Angka ini menunjukkan bahwa diabetes tidak hanya menjadi  ancaman kesehatan di level global, tetapi juga merupakan masalah serius yang perlu mendapat  perhatian khusus di dalam negeri. Penyakit ini mempengaruhi kualitas hidup banyak orang dan  menimbulkan beban besar bagi sistem kesehatan Indonesia.

Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2021 jumlah  penderita diabetes di dunia mencapai 537 juta orang. Diperkirakan angka ini akan terus  meningkat, mencapai 643 juta pada tahun 2030 dan 783 juta pada tahun 2045. Di Indonesia,  berdasarkan laporan IDF, jumlah penderita diabetes pada tahun 2021 tercatat sebanyak 19,5  juta orang, menjadikannya sebagai negara dengan jumlah penderita terbanyak kelima di dunia.  Angka ini diperkirakan akan melonjak menjadi 28,6 juta pada tahun 2045. 

Besarnya angka ini menunjukkan bahwa gaya hidup Masyarakat saat ini sangat tidak  sehat. Gaya hidup yang tidak sehat, seperti rutin mengonsumsi gula dengan kadar diatas rata rata akan meningkatkan risiko terkena penyakit diabetes. Penyakit diabetes merupakan  penyakit yang berbahaya dan merupakan salah satu eksternalitas negatif yang mengganggu  kesehatan orang yang mengidap penyakit tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya suatu  pengaturan baik itu melalui program kebijakan kesehatan maupun kebijakan dari sisi fiskal  dalam hal ini melalui cukai. 

Cukai termasuk jenis pajak tidak langsung yang memiliki ciri khas tersendiri.  Berdasarkan pandangan Cnossen (2005), karakteristik unik dari cukai meliputi: 1) penentuan  objek cukai dilakukan secara selektif (selectively), 2) penerapan cukai bersifat diskriminatif  (discrimination in intents), di mana tujuan pungutan cukai tidak hanya untuk menghasilkan  pendapatan, tetapi juga untuk mencapai sasaran tertentu yang diinginkan pemerintah, dan 3)  pelaksanaan pungutan cukai selalu melibatkan aspek pengawasan administratif maupun fisik  yang berbasis pada pengukuran kuantitatif (quantitative measurement). 

Menurut Rosdiana dan Irianto (2012), tujuan utama dari penerapan cukai lebih  difokuskan pada fungsi regulerend. Hal ini berarti bahwa kebijakan yang diterapkan oleh  pemerintah dirancang untuk mencapai sasaran tertentu, termasuk mengurangi dampak negatif  eksternal yang diakibatkan oleh penggunaan atau konsumsi suatu barang atau jasa. Dalam hal  ini yang dimaksudkan adalah Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). 

Rencana ekstensifikasi cukai telah diwacanakan sejak tahun 1998. Akan tetapi di dalam  UU Cukai hanya mengatur beberapa barang yang ditetapkan untuk dikenakan cukai yang  terdiri dari etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol, dan tembakau. Jika kita melihat  hal ini tentunya objek cukai di Indonesia masih terbilang dikit. Oleh sebab itu, ide untuk  mengenakan cukai MBDK dapat menjadi salah satu alternatif untuk menurunkan eksternalitas  negatif yang dibuat yang dibuktikan dengan penurunan jumlah penyakit diabetes di Indonesia 

dan secara langsung dengan adanya penambahan objek baru cukai dapat meningkatkan  penerimaan negara. 

Namun, hingga kini, kebijakan ini belum terealisasi karena berbagai faktor, termasuk  dampaknya terhadap industri dan konsumen. Meski demikian, cukai telah menjadi salah satu  penyumbang penerimaan terbesar negara. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)  menunjukkan bahwa pada tahun 2023, cukai menyumbang 77,5% dari penerimaan bea dan  cukai. Meskipun sudah terdapat celah untuk mengatur MBDK sebagai objek cukai, namun  dalam kenyataannya belum ada peraturan yang mengatur terkait cukai MBDK dan kebijakan  tersebut hanya terus menjadi rencana pemerintah dari tahun ke tahun. Hingga tahun ini,  pemerintah masih belum memberlakukan kebijakan cukai MBDK karena masih banyak faktor  yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun dan menetapkan kebijakan. 

Di Indonesia sendiri, Menteri Keuangan Sri Mulyani telah membuat kebijakan cukai  atas minuman berpemanis dengan tarif yang diusulkan sebesar Rp 1.500 per-liter untuk  minuman teh kemasan dan Rp 2.500 per-liter untuk minuman berkarbonasi. Jika tarif tersebut digunakan maka diprediksi potensi penerimaan negara atas cukai minuman berpemanis bisa  mencapai Rp 6,25 triliun (BBC, 2020) yang menandakan keberhasilan penerapan cukai  minuman dimana masyarakat baik konsumen akan beralih ke minuman non-berpemanis. Ini  sejalan dengan tujuan penerapan cukai minuman berpemanis, yakni untuk mengubah perilaku  konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis. 

Akan tetapi, kebijakan penerapan cukai MBDK ini harus melalui tahapan yang tepat.  Hal ini disebabkan kebijakan ini dapat menimbulkan beban tambahan bagi produsen minuman  berpemanis, seperti meningkatnya biaya produksi karena adanya beban tambahan bagi  perusahaan untuk membayar cukai MBDK. Efek dari cukai ini juga berpotensi menurunkan  penjualan, karena telah dikenakan cukai maka tentunya biaya produksi semakin tinggi sehingga  harga jual juga semakin tinggi. Dalam jangka pendek, hal ini dapat memengaruhi profitabilitas  perusahaan dan memicu pengurangan tenaga kerja (layoff). Efek domino seperti penurunan  PPh Pasal 21 akibat pengurangan karyawan dari perusahaan yang membuat minuman  berpemanis dan penurunan PPN karena menurunnya daya beli atau konsumsi masyarakat  terhadap minuman berpemanis.  

Cukai MBDK merupakan instrumen yang berpotensi mengurangi eksternalitas negatif  dan meningkatkan penerimaan negara. Namun, keberhasilannya memerlukan perencanaan matang dan pendekatan yang seimbang. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini  tidak hanya berdampak positif pada kesehatan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan  dampaknya terhadap industri dan kesejahteraan sosial.


Tinggalkan Komentar