DIM Dikdok Tak Kunjung Tiba, DPR Pertanyakan Political Will Pemerintah - Telusur

DIM Dikdok Tak Kunjung Tiba, DPR Pertanyakan Political Will Pemerintah

Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran Willy Aditya.

telusur.co.id - Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Pendidikan Kedokteran (Dikdok) dari Pemerintah mestinya sudah diterima DPR Juni 2022, kemarin. Namun memasuki bulan Juli ini, DIM itu tak kunjung tiba. DPR pun mempertanyakan political will Pemerintah terkait revisi undang-undang tersebut.

“Ini sudah seperti menampar muka lembaga. Pemerintah sudah menjanjikan sampai bulan Juni kemarin. Ini sudah masuk bulan Juli tapi tidak ada kabar apapun dari pihak terkait. Kami jadi mempertanyakan kemauan politik dari pemerintah, khususnya Kemendikbud terkait hal ini,” kata Ketua Panja RUU Pendidikan Kedokteran Willy Aditya, Selasa (5/7/2022) di Jakarta.

Willy curiga, ada pihak yang pro status quo yang sepertinya terganggu dengan rencana revisi ini. Mereka selalu berlindung dibalik dalih pengintegrasian dengan UU Praktik Kedokteran atau rencana revisi UU Pendidikan Nasional.

“Sebab pada kenyataannya, semua masih jalan di tempat. Ini ada langkah progresif atas masalah yang hingga saat ini realtime terjadi, namun mereka begitu resisten terhadapnya. Ada apa ini?” Ungkap Willy.

Bagi Wakil Ketua Badan Legislasi ini, ada begitu banyak masalah terkait penyelenggaraan sistem kesehatan nasional kita. Mulai dari pembukaan fakultas kedokteran yang terkesan janggal dan berorientasi pasar, hingga sedikitnya alokasi dokter spesialis di daerah-daerah pinggiran. “Dan itu hulunya ada di pendidikan kedokteran,” kata Willy.

“IPB itu institut, pertanian pula, tapi bisa membuka Fakultas Kedokteran. Ini gimana logikanya? Kalaupun secara legal formal tidak bermasalah, bukankah ada kesan kuat bahwa skema pembangunan tenaga kesehatan kita hanya berdasarkan logika pasar belaka?”

Kenyataan ini belum ditambah dengan masalah biaya masuk, biaya kelulusan, hingga alokasi tenaga kesehatan berbasis kebutuhan.

Khusus terkait biaya kuliah di fakultas kedokteran (FK) ini, Willy mengendus adanya status quo. Sebab dalam mekanisme yang saat ini berlaku, baik biaya masuk maupun biaya kelulusan dari FK terbilang cukup besar dibanding fakultas-fakultas yang lain.

“Saya kira ini sudah menjadi rahasia umum, ya. Parahnya, semua pihak seperti sudah memaklumi bahwa biaya kesehatan memang mahal harganya. Ini menurut saya sesat pikir yang paling nyata,” ungkapnya.

Kenyataan ini cuma bagian kecil dari masalah sistem kesehatan nasional kita. Masih banyak masalah-masalah lain yang muaranya tidak jauh dari ungkapan kesehatan sebagai bagian dari “bussiness as usual”.

“Kalau mereka merasa terganggu statemen, buktikan dong dengan DIM yang mereka janjikan,” tandasnya.

Lebih dari itu, Willy menegaskan, revisi terhadap UU Pendidikan Kedokteran adalah bagian dari upaya membangun sistem layanan kesehatan yang terakses, terjangkau, dan memanusiakan manusia.

Sudah terlalu sering kita mendengar bagaimana di wilayah pedalaman sana tidak ada tenaga kesehatan sama sekali. Sudah lama Puskesmas A menyampaikan bahwa mereka tidak memiliki dokter spesialis.

“Fenomena dokter Lie Dharmawan dengan RS Apungnya tentu sebuah bentuk kebajikan. Tapi di sisi lain, ini kan salah satu bentuk bolongnya negara melayani warganya. Terutama di sektor yang paling elementer. Yang jadi pertanyaan kemudian, bagaimana negara berupaya menutup kebolongan ini. Kan, itu poin pentingnya?” Kata Willy retorik.

Oleh karena itu, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem ini menagih komitmen “Mas Menteri” Nadiem Makarim untuk segera merumuskan DIM RUU ini.

“Presiden sudah menyerahkan supresnya, pemerintah sudah menjanjikan DIM sampai Juni kemarin. Kurang apalagi? Kalau mau bantah-bantahan nanti di ruang yang semestinya. Yang penting sekarang penuhi dulu fatsun politiknya,” tutupnya. {ham]


Tinggalkan Komentar