Telusur.co.id -Oleh: Gea Dwi Asmara, Dosen Ekonomi Pembangunan, Universitas Ahmad Dahlan
Menjelang akhir 2025, wilayah Sumatra dari Aceh hingga Sumatra Barat menghadapi rangkaian bencana yang datang hampir tanpa jeda. Banjir bandang dan tanah longsor terjadi di berbagai daerah akibat cuaca ekstrem dan curah hujan yang jauh melampaui daya serap alam. Fenomena ini dikenal sebagai bencana hidrometeorologi, yakni bencana yang dipicu oleh kombinasi faktor air dan kondisi cuaca. Dalam situasi seperti ini, air yang seharusnya menopang kehidupan justru berubah menjadi sumber kerusakan.
Dampak bencana tersebut tidak berhenti pada rusaknya rumah warga atau lahan pertanian, tetapi menjalar hingga ke level ekonomi yang lebih luas. Data CELIOS mencatat kerugian materiil akibat hancurnya infrastruktur, sawah, dan permukiman di Sumatra mencapai Rp68,67 triliun. Bahkan, efeknya diperkirakan mampu menekan PDB nominal nasional hingga 0,31 persen. Di tengah tekanan besar ini, muncul satu kekuatan khas Indonesia yang berperan penting sebagai penyangga, yakni ekonomi gotong royong.
Peran negara terlihat melalui kebijakan Kementerian Sosial yang dirancang berlapis. Pemerintah menyalurkan Jaminan Hidup atau Jadup sebesar Rp15.000 per orang per hari. Dari sudut pandang ekonomi, jumlah ini menuai kritik karena dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, terlebih saat harga pangan di wilayah bencana melonjak. Namun, pemerintah juga menyediakan bantuan yang bersifat lebih berjangka berupa modal pemulihan sebesar Rp8 juta per Kepala Keluarga.
Dana tersebut tidak hanya dimaksudkan sebagai bantuan konsumtif. Sebesar Rp3 juta dialokasikan untuk memperbaiki aset rumah tangga, sementara Rp5 juta lainnya ditujukan sebagai stimulan usaha. Melalui skema ini, pemerintah mendorong warga agar tidak bergantung sepenuhnya pada bantuan sosial, melainkan kembali produktif dan mandiri. Di sinilah prinsip awal ekonomi gotong royong bekerja, negara menyediakan pijakan awal agar masyarakat bisa bangkit dengan kekuatannya sendiri.
Agar semangat gotong royong berjalan efektif, dibutuhkan sistem distribusi yang lancar. Pos Indonesia mengambil peran penting lewat program Pos Peduli dengan membebaskan ongkos kirim bantuan ke Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Dalam konteks ekonomi, kebijakan ini dapat dipahami sebagai subsidi logistik yang berdampak langsung pada efisiensi penyaluran bantuan.
Dengan dihapuskannya biaya pengiriman, nilai bantuan yang dikirim masyarakat menjadi lebih utuh. Hambatan ongkos yang sebelumnya membatasi niat berbagi, tidak lagi menjadi masalah. Peran Pos Indonesia menjelma sebagai penghubung yang memastikan solidaritas dari berbagai daerah di Indonesia benar benar sampai ke tangan para korban tanpa tergerus biaya distribusi.
Namun, gotong royong tidak hanya soal jumlah bantuan, melainkan juga kualitasnya. Melalui program BPOM Peduli, pemerintah memastikan bahwa pangan dan obat obatan yang disalurkan memenuhi standar keamanan. Dari perspektif ekonomi kesehatan, langkah ini sangat krusial karena mencegah munculnya masalah kesehatan baru yang justru akan menambah beban biaya pemulihan di kemudian hari.
Kolaborasi ini semakin lengkap dengan keterlibatan sektor swasta. Salah satunya ditunjukkan oleh Grup Merdeka yang menyalurkan donasi sebesar Rp977 juta. Kontribusi korporasi membantu menutup kebutuhan mendesak yang sering kali tidak terakomodasi dalam anggaran pemerintah, seperti penanganan medis darurat dan operasional logistik cepat. Dengan keterlibatan swasta, tanggung jawab pemulihan ekonomi tidak hanya bertumpu pada negara, tetapi dibagi sesuai kapasitas masing masing pihak.
Rangkaian peristiwa di Sumatra pada akhir 2025 memperlihatkan bahwa ekonomi gotong royong merupakan fondasi utama ketahanan Indonesia. Meski besaran Jadup masih perlu dievaluasi agar lebih layak, kerja sama lintas sektor yang terbangun menunjukkan adanya sistem penyangga ekonomi berbasis solidaritas sosial yang kuat.
Bantuan modal dari Kemensos, dukungan logistik dari Pos Indonesia, pengawasan BPOM, serta partisipasi swasta dan masyarakat luas saling melengkapi satu sama lain. Semua elemen ini membentuk satu kesatuan yang membantu menjaga stabilitas ekonomi Sumatra di tengah bencana. Gotong royong dalam wajah modern inilah yang memungkinkan masyarakat tetap bertahan dan perlahan memulihkan aktivitas ekonominya.
Di luar perhitungan angka dan kebijakan formal, faktor paling menentukan dalam proses pemulihan adalah karakter masyarakat Indonesia itu sendiri. Budaya saling membantu yang telah mengakar bukan sekadar nilai sosial, melainkan aset penting dalam menjaga ketahanan bangsa. Berkali kali Indonesia membuktikan bahwa ketika instrumen ekonomi formal memiliki keterbatasan, solidaritas masyarakat justru menjadi penopang utama di lapangan.
Ketulusan warga dan kesigapan relawan membentuk jaring pengaman sosial yang kuat dan nyata. Nilai gotong royong mengubah krisis menjadi momentum kebersamaan, sekaligus menegaskan bahwa kepedulian publik adalah kekuatan besar. Pada akhirnya, kebijakan negara akan bekerja jauh lebih efektif ketika bertemu dengan dukungan kolektif masyarakat. Sinergi inilah yang menjadi kunci agar Sumatra mampu bangkit dan menggerakkan kembali roda ekonominya pascabencana.




