telusur.co.id - Di tengah proses pemulihan ekonomi masyarakat pasca-pandemi Covid-19, seharusnya pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM. Kebijakan tersebut akan memicu inflasi dan berimplikasi serius terhadap ekonomi yang baru menggeliat kembali.

Sayangnya, di tengah tren harga minyak dunia yang terus turun sejak Agustus lalu, akhir pekan lalu Presiden Joko Widodo justru mengumumkan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), mulai dari Pertalite, Solar, hingga Pertamax. 

Harga Pertalite, misalnya, naik hampir 31 persen, dari sebelumnya Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Sementara itu, harga Solar bersubsidi naik lebih dari 32 persen, dari sebelumnya Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Sedangkan harga Pertamax naik sebesar 16 persen, dari sebelumnya Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter.

"Kebijakan ini penuh dengan tanda tanya. Apalagi, sejumlah narasi yang dibangun pemerintah untuk membenarkan kebijakan ini terbukti menyesatkan. Saya mencatat ada beberapa narasi menyesatkan terkait dengan kebijakan harga BBM dan subsidi pemerintah di bidang energi," ujar Fadli Zon.

Pertama, Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah melontarkan pernyataan bahwa anggaran subsidi energi mencapai Rp502 triliun dan jumlah itu sangat membebani APBN. Pernyataan menyesatkan tersebut telah diprotes oleh banyak kalangan dan juga ekonom, karena dianggap tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya.

Nyatanya, subsidi BBM di dalam APBN hanya sebesar Rp149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun.

Kedua, pemerintah selalu mengatakan  kenaikan harga minyak telah menambah beban APBN, padahal meskipun tergolong net oil importer, setiap kenaikan harga minyak dunia sebenarnya ikut meningkatkan pendapatan pemerintah. 

Menurut Anthony Budiawan, misalnya, dengan produksi minyak mentah Indonesia yang mencapai 611 ribu barel per hari, maka dengan tingkat harga minyak saat ini, pendapatan negara secara umum sebenarnya masih surplus sekitar Rp33,15 triliun.

Perhitungan tersebut kurang lebih senafas dengan hasil kajian INDEF pada Maret 2022, yang menyatakan bahwa kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) US$1 per barel akan menambah pendapatan negara Rp3 triliun, di mana pada sisi belanja negara akan memberi tambahan Rp2,6 triliun. Karenanya, dengan kenaikan harga ICP, diperkirakan masih ada surplus sekitar Rp400 miliar. 

Jika mengacu pada skenario tersebut, selisih antara harga ICP sebagaimana diasumsikan APBN 2022, yaitu sebesar US$63 per barel, dengan harga riil ICP yang menyentuh rata-rata angka US$100 per barel, tidaklah otomatis menghasilkan kerugian. Selisih harga ICP sebesar US$37 per barel itu, menurut INDEF, justru telah menambah pendapatan negara sebesar Rp111 triliun. Dari sisi  belanja memang mengakibatkan bertambahnya belanja negara, tapi jumlahnya menurut INDEF hanya sebesar Rp96,2 triliun. Sehingga, negara sebenarnya masih mengantongi surplus anggaran sebesar Rp14,8 triliun.

Ketiga, APBN itu fungsinya adalah “shock absorber”. Jadi, ia berfungsi sebagai peredam guncangan. Sehingga, jika Presiden dan Menteri Keuangan mengatakan subsidi untuk rakyat sebagai beban bagi APBN, hal itu jelas menyalahi fungsi dari anggaran publik tersebut.

Keempat, pernyataan Menteri Keuangan bahwa subsidi energi bisa digunakan untuk membangun 227 ribu sekolah, adalah pernyataan menyesatkan. Bagi rakyat, hubungan antara subsidi energi dengan pembangunan sekolah bersifat komplementer, bukan substitutif. Rakyat sama-sama membutuhkan keduanya, bukan hanya salah satu.

Dan kelima, dari angka Rp502 triliun yang disebut pemerintah sebagai subsidi energi, bagian terbesarnya adalah anggaran kompensasi energi, sebuah mata anggaran yang tidak pernah diatur dalam undang-undang. 

Anggaran kompensasi energi ini, menurut klaim Menteri Keuangan, diatur dalam Perpres No. 98/2022 tentang Rincian APBN 2022. Namun, kita tidak akan menemukan kata “kompensasi” di dalam Perpres tersebut. Penyebutan kata itu muncul di Perpres No. 117/2021 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Aturan turunannya adalah Permenkeu No. 159/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Harga Jual Eceran BBM dan Tarif Tenaga Listrik. 

Ada satu anggaran besar, namun dasar aturannya hanya berbekal Perpres dan Permenkeu, jelas harus dipertanyakan. 

Sebagai catatan, dalam revisi APBN 2022, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia, harga ICP telah direvisi menjadi US$100 per barel. Artinya, asumsinya telah dinaikkan 58,7 persen. Pada saat yang sama jumlah kuota solar juga telah dinaikkan menjadi 17,44 kilo liter (naik 15 persen), sementara kuota Pertalite dinaikkan menjadi 29,7 juta kilo liter (naik 26 persen). Dengan kenaikan tersebut, jumlah anggaran subsidi energi kemudian berubah menjadi Rp208,9 triliun, atau naik Rp74,9 triliun, atau setengah kali lipat dari jumlah sebelumnya yang hanya Rp134 triliun.

"Anehnya, jumlah anggaran kompensasi energi justru meroket tajam, karena telah naik dari sebelumnya Rp18,5 triliun (APBN 2022), menjadi Rp216,1 triliun, atau naik hampir 12 kali lipat (1.068 persen). Kenaikan ini jelas tidak proporsional dengan besaran kenaikan komponen-komponen anggaran sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya."

Bagaimana bisa anggaran kompensasi energi naik hingga 12 kali lipat (1.068 persen), sementara harga BBM hanya naik 58,7 persen, kuota solar hanya naik 15 persen, dan kuota Pertalite hanya naik 26 persen?!

Kenaikan anggaran kompensasi energi yang tidak masuk akal tadi itulah yang telah melahirkan angka Rp502,1 triliun sebagaimana yang disebut oleh Presiden dan Menteri Keuangan. Dengan lima catatan tadi, sangat aneh kalau pemerintah kemudian membuat narasi seolah subsidi energi telah membuat APBN jebol, lalu memaksakan kenaikan harga BBM di tengah turunnya harga minyak dunia. [ham]