telusur.co.id -Guru Besar Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Suryani Dyah Astuti, S.Si., M.Si., terus menghadirkan inovasi yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Salah satu inovasi terbarunya adalah pengembangan alat deteksi dini kesegaran bahan pangan bernama Aenose.
Prof. Suryani menjelaskan bahwa pengembangan Aenose berawal dari ketertarikannya terhadap keberhasilan electronic nose (e-nose) buatan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang digunakan untuk deteksi dini COVID-19.
“Kami tertarik untuk mengaplikasikan E-Nose atau Electronic Nose ini, yaitu Artificial Nose yang meniru cara hidung manusia bekerja, untuk digunakan dalam deteksi dini bahan pangan,” ungkapnya.
Setelah melakukan benchmarking dengan penemu E-Nose UGM, Prof. Drs. Kuwat Triyana, M.Si., Ph.D., Prof. Suryani bersama mahasiswa pascasarjana UNAIR mengembangkan sistem tersebut menjadi Aenose. Alat ini dilengkapi dengan sensor TGS dan sensor MQ yang dirancang khusus untuk mendeteksi pengawetan bahan pangan.
Keunggulan utama Aenose terletak pada kemampuannya dalam mengklasifikasikan tingkat kesegaran daging secara cepat, portabel, dan bersifat non-destruktif atau tidak merusak bahan pangan.
“Sensor ini mampu mengklasifikasikan daging yang tidak segar maupun daging yang segar dengan akurasi yang sangat tinggi, yaitu 90 persen,” jelas Prof. Suryani.
Cara kerja Aenose menyerupai indra penciuman manusia yang bersifat subjektif dan dapat dipengaruhi oleh kondisi kesehatan. Namun, Aenose menggunakan sistem sensor larik (sensor array) yang mampu mendeteksi berbagai jenis bau yang dihasilkan dari proses metabolisme daging atau kontaminasi bakteri. Aroma tersebut kemudian dikonversi menjadi sinyal listrik dan dianalisis menggunakan komputasi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) untuk mengklasifikasikan tingkat kesegaran daging.
Dalam proses pengembangannya, Prof. Suryani mengungkapkan adanya sejumlah tantangan, terutama terkait ketersediaan komponen elektronik dan sensor yang sebagian besar masih harus diimpor.
“Tantangan utama adalah ketersediaan bahan sehingga kami harus memutar otak untuk dapat mengganti dengan komponen lain yang sama dengan kualitas yang lebih baik,” tuturnya.
Meski demikian, upaya hilirisasi terus dilakukan. Saat ini, pengembangan Aenose telah bekerja sama dengan mitra industri PT Sarandi Karya Nugraha, perusahaan yang bergerak di bidang alat kesehatan. Selain Aenose, Prof. Suryani juga mengembangkan inovasi lain, seperti Skinolaser untuk mempercepat penyembuhan luka pascaoperasi yang kini memasuki tahap uji klinik, serta laser perikanan untuk mendukung budidaya ikan.
Prof. Suryani berpesan kepada dosen muda dan mahasiswa agar berani berinovasi dan tetap konsisten. Ia menekankan pentingnya menyusun roadmap penelitian yang jelas dan berangkat dari permasalahan nyata di sekitar.
Ia juga mengingatkan agar tidak takut mencoba, meskipun proses pengembangan kerap diwarnai tantangan dan kegagalan, karena dari proses tersebut pembelajaran dan penyempurnaan konsep dapat tercapai. Selain itu, penguasaan dasar teknis yang kuat serta pembaruan pengetahuan mengikuti perkembangan teknologi menjadi hal yang sangat penting. Kolaborasi lintas disiplin dengan industri dinilai mampu membuka perspektif baru dan mempercepat proses inovasi.
“Generasi muda, utamanya Gen Z, memiliki banyak wawasan dan ide kreatif. Teruslah bermimpi, konsisten, tetaplah memiliki rasa ingin tahu dan semangat untuk memberi manfaat. Invensi yang baik bukan hanya inovatif, tetapi juga membawa dampak nyata bagi masyarakat,” pungkasnya.



