Telusur.co.id -Oleh: Hilma Fanniar Rohman, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kebijakan Publik (PSKP) Universitas Ahmad Dahlan.
Bencana yang berulang di berbagai wilayah Sumatera hari ini menunjukkan satu kenyataan yang sulit disangkal. kerusakan yang terjadi bukan semata akibat alam, melainkan hasil dari kelalaian yang terakumulasi. Banjir bandang, tanah longsor, dan kerusakan infrastruktur tidak muncul secara tiba-tiba. Ia adalah konsekuensi logis dari pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan dan gagal mengelola risiko.
Dalam perspektif ekonomi, kelalaian ini memiliki harga yang mahal. Sayangnya, harga tersebut jarang dihitung secara jujur dalam perencanaan pembangunan. Yang tampak di permukaan hanyalah angka pertumbuhan, ekspansi investasi, dan peningkatan produksi. Sementara itu, ongkos lingkungan dan risiko bencana disembunyikan sebagai biaya masa depan hingga akhirnya meledak menjadi krisis kemanusiaan dan ekonomi.
Kelalaian yang Dinormalisasi
Selama bertahun-tahun, Sumatera diperlakukan sebagai lumbung sumber daya alam. Hutan dibuka, sungai ditekan kapasitasnya, dan lereng dieksploitasi atas nama pembangunan. Banyak kebijakan ekonomi lahir dengan asumsi bahwa alam selalu mampu menyesuaikan diri. Padahal, setiap ekosistem memiliki batas.
Kelalaian menjadi sistemik ketika tata ruang diabaikan, izin usaha diberikan tanpa kajian risiko yang memadai, dan pengawasan lingkungan dilemahkan. Dalam situasi seperti ini, bencana bukan lagi kejutan, melainkan keniscayaan yang ditunda. Namun karena dampaknya tidak langsung terasa, ongkosnya dianggap tidak ada.
Ongkos Ekonomi yang Tak Pernah Dicatat
Ketika bencana terjadi, kerugian ekonomi muncul secara berlapis. Rumah rusak, lahan pertanian gagal panen, akses transportasi terputus, dan aktivitas ekonomi berhenti. UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi lokal paling pertama terdampak, sementara pekerja informal kehilangan pendapatan tanpa jaring pengaman yang memadai.
Di tingkat makro, negara dan pemerintah daerah harus mengalihkan anggaran besar untuk tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Anggaran publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan manusia justru habis untuk menutup lubang akibat kelalaian struktural. Ini bukan sekadar beban fiskal, tetapi juga kehilangan kesempatan pembangunan.
Ironisnya, keuntungan dari aktivitas ekonomi yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung publik. Inilah bentuk ketidakadilan ekonomi yang nyata: keuntungan dinikmati segelintir, kerugian dibayar bersama.
Bencana sebagai Cermin Kegagalan Kebijakan
Jika bencana terus berulang di wilayah yang sama, maka persoalannya tidak lagi dapat disederhanakan sebagai cuaca ekstrem. Ia adalah cermin dari kegagalan kebijakan pembangunan. Dalam ekonomi publik, kondisi ini mencerminkan inefisiensi serius. Negara membiarkan aktivitas berisiko tinggi demi pertumbuhan jangka pendek, lalu mengeluarkan biaya besar ketika risiko itu berubah menjadi bencana.
Model pembangunan semacam ini tidak hanya mahal, tetapi juga rapuh. Ketika risiko tidak dikelola, pertumbuhan kehilangan maknanya karena tidak mampu melindungi kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang seharusnya memperkuat ketahanan justru menciptakan kerentanan baru.
Mengakhiri Kelalaian, Menghitung Ulang Ongkos
Bencana di Sumatera seharusnya menjadi titik balik. Ongkos ekonomi dari kelalaian harus mulai dihitung secara serius dan dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan. Perlindungan lingkungan, mitigasi bencana, dan penegakan hukum tidak boleh lagi dipandang sebagai penghambat investasi, melainkan sebagai instrumen efisiensi ekonomi jangka panjang.
Setiap rupiah yang diinvestasikan pada pencegahan bencana melalui rehabilitasi hutan, pengelolaan daerah aliran sungai, dan tata ruang berbasis risiko akan menghemat biaya pemulihan yang jauh lebih besar.
Harga dari sebuah kelalaian selalu lebih mahal ketika dibayar di belakang. Bencana di Sumatera adalah bukti bahwa ongkos yang selama ini diabaikan kini datang bersamaan, membawa kerugian ekonomi, penderitaan sosial, dan ketidakpastian masa depan.
Jika kelalaian terus dinormalisasi, maka bencana akan menjadi bagian rutin dari siklus pembangunan. Namun jika kebijakan berani berubah, Sumatera masih memiliki peluang untuk keluar dari jebakan pembangunan mahal dan rapuh. Karena pada akhirnya, pembangunan yang abai bukan hanya merusak alam, tetapi juga menghancurkan fondasi ekonomi itu sendiri.



