Indonesia, Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga - Telusur

Indonesia, Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga

Flyer Denny JA 2025; “Indonesia Tempat Paling Aman Jika Pecah Perang Dunia Ketiga”

telusur.co.idOleh : Denny JA

Bayangkan pagi itu di Ubud, Bali. Matahari belum tinggi, kabut masih melayang lembut di atas hamparan sawah. 

Seorang perempuan bernama Julia Morgan, warga New York, duduk di beranda vila kecilnya, menyeruput kopi sambil menatap cakrawala hijau.

Ia baru seminggu tiba dari Amerika. Awalnya, ini hanya liburan singkat. Tapi sesuatu berubah pagi itu. Di layar tabletnya, terbuka tajuk utama The Economic Times, tertanggal 18 Juni 2025:

“A List of Safest Countries to Seek Shelter as World War III Fear Looms”.

Di sana, nama Indonesia muncul. Bersama Islandia, Selandia Baru, dan Swiss.

Julia terdiam. Ia membaca ulang bagian tentang Indonesia, negara kepulauan yang besar, netral, kaya sumber daya, dan jauh dari pusat konflik dunia.

“Kalau perang Iran–Israel meluas, dan Amerika ikut campur, bukankah kita lebih baik tinggal di sini?” tanyanya kepada suami. 

“Di Bali, tempat anak-anak bisa tetap tertawa, tanpa tahu bahwa dunia sedang gila.”

Sejak hari itu, Julia tak pulang dulu ke AS. Ia menjalankan bisnis daringnya dari Indonesia. Di sini, katanya, dunia masih terasa waras.

Dalam laporan The Economic Times itu, Indonesia disebut sebagai salah satu negara paling aman jika Perang Dunia Ketiga pecah. Mengapa?

Esai di The Economic Times itu tak menjelaskan detil. Namun kita bisa mengeksplorasi dari aneka referensi.

Setidaknya ada tujuh alasan kuat yang membuat Indonesia berpotensi menjadi “global safe haven” di tengah kehancuran geopolitik.

1. Letak Geografis: Jauh dari Titik Api Dunia

Indonesia berada di Asia Tenggara—jauh dari poros konflik global seperti:

    •    Eropa Timur (NATO vs Rusia)
    •    Timur Tengah (Israel vs Iran)
    •    Asia Timur Laut (Taiwan, Korea, Jepang)

Letaknya yang relatif netral menjadikan Indonesia bukan target prioritas konflik besar.

2. Politik Bebas-Aktif: Warisan Bung Hatta yang Relevan

Pidato bersejarah Bung Hatta, “Mendayung di Antara Dua Karang” (2 September 1948), menjadi fondasi politik luar negeri Indonesia.

Prinsip bebas-aktif tetap dijaga dari era Soekarno, Soeharto, hingga Jokowi dan Prabowo. Indonesia bukan bagian NATO, bukan sekutu militer AS, dan tidak memiliki musuh permanen.

“Kami tidak ingin menjadi satelit dari blok mana pun.” (Mohammad Hatta, 1948)

3. Bukan Target Strategis Nuklir

Indonesia :
    •    Tidak punya pangkalan militer asing.
    •    Tidak punya senjata nuklir.
    •    Tidak punya instalasi global yang bisa jadi incaran pertama serangan adidaya.

Sebaliknya, negara seperti Jepang, Jerman, Inggris, dan Korea Selatan justru lebih rentan karena menjadi basis militer asing.

4. Ketahanan Sumber Daya: Lumbung Kehidupan

Indonesia memiliki:
    •    Cadangan pangan (beras, singkong, jagung)
    •    Energi lokal (batubara, panas bumi, minyak sawit)
    •    Sumber air melimpah
    •    Hutan tropis luas

Artinya: jika dunia runtuh, Indonesia mampu bertahan secara lokal dalam waktu lama.

5. Tidak Punya Musuh Tradisional

Indonesia tidak memiliki rivalitas abadi seperti India-Pakistan atau Israel-Iran.
Sebaliknya, Indonesia kerap menjadi mediator damai, seperti dalam kasus Afghanistan 

6. Struktur Kepulauan: Benteng Alamiah

Dengan lebih dari 17.000 pulau, Indonesia nyaris mustahil dikuasai penuh oleh musuh. Bahkan Jepang saat Perang Dunia II hanya menguasai sebagian pusat strategis.

Kepulauan ini memberi:
    •    Diversifikasi logistik
    •    Ruang perlindungan
    •    Hambatan alami bagi penjajah

7. Ekonomi Lokal dan Sosial Komunal yang Kuat

Indonesia punya ekonomi informal yang luas:

    •    Warung, pasar tradisional, sawah, tambak
    •    Komunitas lokal yang saling menolong
    •    Sistem sosial berbasis desa dan gotong royong

Dalam masa genting, sistem ini lebih kuat dibanding sistem yang bergantung penuh pada ekspor–impor.

Esai ini tidak sedang memuji Indonesia secara buta.

Ia hanya menunjukkan bahwa, di tengah hiruk-pikuk dunia yang siap meledak, Indonesia dengan segala kekurangannya telah lama memilih jalan kebijaksanaan. Yaitu sikap politik luar negeri yang netral, damai, dan aktif dalam perdamaian dunia.

Filsuf Spanyol Miguel de Unamuno berkata:
“Kebijaksanaan tertinggi bukanlah bertarung, tapi tahu kapan tak perlu bertarung.”

Itulah wajah Indonesia kini.

Dulu dikenal karena rempah, senyum, dan laut yang luas.

Tapi jika Perang Dunia Ketiga benar-benar datang, negeri ini akan dikenal sebagai  terminal paling aman ditinggali. 

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku. 


Tinggalkan Komentar