Telusur.co.id -Oleh : Rusydi Umar, Dosen S2 Informatika, Universitas Ahmad Dahlan
Dalam beberapa waktu terakhir, istilah Real-World Assets (RWA) semakin sering muncul dalam dunia kripto. RWA merujuk pada aset dunia nyata seperti emas, properti, atau obligasi, yang direpresentasikan dalam bentuk token digital di blockchain. Konsep ini kerap dipromosikan sebagai cara baru berinvestasi yang lebih inklusif dan modern. Namun, bagaimana sebenarnya mekanisme token RWA bekerja, dan risiko apa saja yang perlu dipahami masyarakat?
Secara sederhana, token RWA adalah klaim digital atas aset fisik yang benar-benar ada. Pada kasus emas, misalnya, satu token dapat mewakili satu troy ounce emas fisik yang disimpan di fasilitas penyimpanan khusus (vault), yaitu fasilitas penyimpanan emas fisik berstandar tinggi, diawasi kustodian profesional, diasuransikan, dan diaudit secara berkala untuk menjamin keberadaan. Investor tidak memegang emasnya secara langsung, melainkan memegang token yang secara klaim didukung oleh emas tersebut.
Model serupa juga diterapkan pada properti, meski dengan struktur yang lebih kompleks. Properti umumnya tidak langsung ditokenisasi atas nama individu, tetapi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam Special Purpose Vehicle (SPV), yaitu entitas hukum khusus yang secara sah memiliki aset tersebut. Token yang diterbitkan merepresentasikan klaim ekonomi atas properti tertentu yang dimiliki dan dikelola oleh SPV, dengan hak manfaat yang mengikuti porsi kepemilikan token. Dengan skema ini, kepemilikan properti bisa dipecah menjadi unit-unit kecil sehingga dapat diakses investor ritel.
Dari sisi manfaat, tokenisasi RWA menawarkan sejumlah kemudahan. Investor dengan modal terbatas dapat memiliki sebagian kecil emas atau properti tanpa harus membeli aset secara utuh. Token juga relatif mudah diperdagangkan lintas negara, sehingga memberi kesan likuiditas yang lebih tinggi dibanding transaksi aset fisik konvensional. Untuk properti yang disewakan, pemegang token berpotensi memperoleh pendapatan sewa secara proporsional sesuai porsi kepemilikan, sekaligus menikmati kenaikan nilai aset.
Namun, di balik kemudahan tersebut, token RWA menyimpan risiko yang tidak selalu disadari publik. Risiko terbesar justru terletak pada aspek yang tidak tercatat di blockchain, atau yang sering disebut sebagai aspek off-chain. Token digital memang tercatat rapi dan transparan, tetapi aset fisik, dokumen hukum, serta pengelolaannya berada di dunia nyata.
Dalam praktiknya, selalu ada kemungkinan aset yang diklaim tidak dikelola dengan baik, nilainya tidak sesuai, atau bahkan tidak benar-benar ada. Jika terjadi masalah pada aset fisik atau pada pihak penerbit token, pemegang token tetap memegang aset digitalnya, tetapi klaim atas aset nyata bisa menjadi lemah. Situasi ini mirip dengan memiliki sertifikat kepemilikan yang sah secara administratif, tetapi bermasalah saat dieksekusi di lapangan.
Risiko lain yang tak kalah penting adalah kegagalan penerbit atau kustodian. Jika pihak yang mengelola aset bangkrut atau menghilang, investor harus menghadapi proses hukum dan likuidasi yang panjang, mahal, dan belum tentu berpihak. Selain itu, masih ada persoalan yang datang dari sisi kelembagaan dan regulasi. Di banyak negara, kerangka hukum token RWA masih berkembang. Status hukum token, perlindungan investor, hingga mekanisme penyelesaian sengketa belum selalu jelas. Selain itu, ada pula biaya operasional yang melekat pada aset fisik, seperti perawatan properti, asuransi, audit, dan jasa kustodian, yang pada akhirnya memengaruhi imbal hasil investor.
Likuiditas juga perlu diperhatikan. Meski token dapat diperdagangkan secara digital, pasar untuk token RWA tertentu bisa saja sepi. Dalam kondisi tersebut, investor mungkin kesulitan menjual token pada harga yang diharapkan. Berbeda dengan kripto murni seperti Bitcoin yang nilainya bertumpu pada permintaan pasar global, nilai token RWA sangat bergantung pada kondisi aset fisik dan kepercayaan terhadap pengelolanya.
Karena itu, token RWA tidak dapat dipahami hanya sebagai produk teknologi. Ia adalah kombinasi antara sistem digital dan tata kelola aset dunia nyata. Sebelum berinvestasi, masyarakat perlu memahami siapa penerbit token, bagaimana aset disimpan dan diaudit, serta bagaimana mekanisme hukum jika terjadi sengketa. Tokenisasi memang membuka jalan baru dalam dunia investasi, tetapi tetap menuntut kehati-hatian yang sama, bahkan lebih, dibanding investasi konvensional.




