telusur.co.id - Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Larijani mengecam AS dan sekutunya karena melakukan taktik tekanan alih-alih perundingan yang tulus, dan mengutip tuntutan untuk membatasi jangkauan rudal Iran sebagai bukti ketidakjujuran Barat.
Berbicara di sebuah program televisi, Larijani mengatakan Barat menolak untuk terlibat dalam negosiasi nyata dengan Iran.
Ia berpendapat bahwa Washington dan mitranya yakin mereka sekarang memiliki kesempatan untuk memberikan tekanan maksimum.
Ia menyatakan bahwa pemerintah Barat dan rezim Israel secara keliru berasumsi bahwa tekanan ekonomi dapat memicu kerusuhan sosial di Iran dan menggunakannya sebagai pengaruh.
Larijani menekankan bahwa Teheran telah menguji berbagai saluran, mulai dari pembicaraan dengan Badan Tenaga Atom Internasional hingga menjajaki kontak langsung dengan Amerika Serikat.
Ia mengingatkan bahwa Pemimpin Revolusi Islam Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menegaskan bahwa perundingan hanya boleh dilakukan dalam kerangka G5+1 jika tidak ada prasyarat yang diberlakukan.
"Ketika Amerika secara terbuka mengatakan rudal Anda tidak boleh melebihi 500 kilometer, itu menunjukkan mereka tidak menginginkan negosiasi yang sesungguhnya," kata Larijani.
Ia menambahkan bahwa meskipun sanksi telah menciptakan kesulitan, Iran akan menolak upaya yang bertujuan melemahkan negara tersebut.
Ia mencatat bahwa pembatasan yang meluas oleh Barat telah secara efektif menciptakan aliansi negara-negara yang dikenai sanksi.
Larijani juga mengkritik mekanisme “snapback” perjanjian nuklir 2015, dengan mengatakan bahwa mekanisme tersebut cacat.
Ia menjelaskan bahwa selama masa jabatannya sebagai ketua parlemen dan saat negosiasi JCPOA sedang berlangsung, ia telah mengusulkan mekanisme bersama yang melibatkan perwakilan Iran, perwakilan G5+1, dan seorang arbiter netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi gagasan tersebut ditolak.
“Pertama Amerika Serikat dan kemudian Eropa melanggar kesepakatan tersebut, namun sekarang mereka menuduh Iran tidak mematuhinya,” ujarnya mengenai kesepakatan nuklir 2015.
Sumber: TNA