Istana Bantah Omongan Agus Rahardjo Soal Jokowi Minta Kasus e-KTP Dihentikan - Telusur

Istana Bantah Omongan Agus Rahardjo Soal Jokowi Minta Kasus e-KTP Dihentikan

Ari Dwipayana. Foto: Antara

telusur.co.id - Istana Kepresidenan membantah pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo, yang mengaku pernah dipanggil Presiden Joko Widodo, meminta pemeriksaan kasus korupsi e-KTP dihentikan. 

Saat kasus itu bergulir, Setya Novanto (Setnov) sedang menjabat sebagai Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. 

"Saya ingin menyampaikan beberapa hal. Yang pertama, setelah dicek tidak ada pertemuan yang disebut-sebut dalam agenda Presiden," kata Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (1/12/23).

Ari memastikan, Presiden Jokowi tidak pernah mengintervensi kasus hukum. Karena, pada kenyataannya, kasus e-KTP itu tetap berjalan sesuai proses hukum yang berlaku. 

Setya Novanto juga dihukum terbukti bersalah dan saat ini tengah menjalani hukuman 15 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. 

"Kita lihat saja kenyataannya yang terjadi. Kenyataannya, proses hukum terhadap Setya Novano terus berjalan pada tahun 2017 dan sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap pada saat itu," kata Ari.

Kata Ari, Presiden Jokowi secara resmi menyampaikan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum yang berlaku. Pernyataan itu dilayangkan sang presiden pada 17 November 2017. Presiden yakin proses hukum akan berjalan dengan baik. Karena itu, ia menampik terjadi pertemuan antara Jokowi dan Agus kala itu

"Bahwa Bapak Presiden yakin bahwa proses hukum itu akan berjalan dengan baik. Saya ingin sampaikan juga bahwa revisi UU KPK itu adalah inisiatif DPR pada tahun 2019 dan bukan inisiatif dari pemerintah," kata dia.

Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, sebelumnya mengaku pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov). 

 Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi. Ia diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017.

Sebelum mengungkapkan peristiwa itu, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa semua hal harus jelas.

 “Saya pikir baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam acara ROSI Kompas TV, Kamis (30/12/23) malam.

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” ucap Agus.

Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus.

Namun, kala itu dipanggil seorang diri. Ia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan melainkan jalur masjid. 

Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Ia pun heran dan tidak mengerti maksud Jokowi. Setelah duduk ia baru memahami bahwa Jokowi meminta kasus yang menjerat Setnov disetop KPK.

“Presiden sudah marah menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.

"Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” ujar Agus

Agus kemudian menyampaikan dirinya sudah kadung menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) perkara e-KTP sehingga tidak mungkin dibatalkan.

"Sprindik itu kan sudah saya keluarkan tiga minggu lalu dari presiden bicara itu. Sprindik itu karena KPK tidak punya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Tidak mungkin saya berhentikan, saya batalkan," ujarnya.

Agus lantas menyebut kejadian tersebut memicu revisi Undang-Undang KPK. Ia mengatakan KPK lantas diserang buzzer dengan istilah KPK sarang taliban.

"Sebelum revisi UU KPK, anda juga perlu dipahami buzzer bukan main kan?" kata Agus.[Fhr] 

 


Tinggalkan Komentar