Telusur.co.id - Pemilihan Umum 2019 disebut paling buruk, menghina demokrasi Pancasila, serta khianati keadaulatan rakyat.
Demikian pernyataan sikap Jaringan Aktivis Pro-Demokrasi, dalam keterangan kepada wartawan, Kamis (2/5/19).
Nicho Silalahi, pimpinan aksi dari Jaringan Aktivis Pro-Demokrasi menilai Pemilu 2019 paling buruk setelah ia mencermati dan mengikuti proses perencanaan, persiapan, pelaksanaan, hingga pada perhitungan suara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD.
“Kami simpulankan, bahwa Pemilu 2019 yang paling buruk,” kata Nicho.
Bukti-bukti kecurangan yang ada merupakan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif, dilakukan oleh petahana dengan semua elemen kekuasaan, maupun oleh institusi penyelenggara, dengan tidak berjalanya asas pemilu, langsung, bebas, umum, rahasia, jujur dan adil.
“Azas pemilu dilanggar KPU mulai persiapan pemilu. Pengadaan kotak suara yang terbuat dari kardus sangat mudah rusak, apalagi iklim Indonesia yang tropis. Kerahasiaan surat suara dalam kotak suara diragukan, patut dipersoalkan soal jumlah DPT invalid 17,5 juta yang hingga pelaksanaan coblosan belum diruntaskan,” kata dia.
Sementata anggaran yang dimiliki KPU cukup besar guna menunjang pemilu yang baik. Akan tetapi, pencocokkan dan penelitian terhadap data penduduk invalid tidak diselesaikan. Maka, dirinya menduga ada penyelewengan anggaran KPU.
Disisi lain, masuknya Warga Negara Asing sebagai pemilih. Itu, kata dia, jelas menghina kedaulatan Indonesia. “Pemilu 2019 menjadi paling memalukan. Kecurangan dimana-mana, menyebar keseluruh wilayah Indonesia hingga ke Malaysia, dll. Kuat dugaan bahwa terjadi persekongkolan secara terstruktur, sistematis dan massif oleh penyelenggara maupun kontestan pemilu.”
Tidak hanya itu, persoalan money politik dan bagi-bagi sembako marak terjadi jelang pemilu. Parahnya, itu tidak ditindak tegas Bawaslu maupun penyelenggara pemilu lainnya. Termasuk dalam hal ini Politik uang yang dilakukan oleh politikus yang berafiliasi langsung dengan calon presiden tertentu.
“Harusnya ini menjadi evaluasi secara besar-besaran oleh penegak hukum. Tetapi hal itu tidak terjadi,” kata dia.
Setelah pencoblosan, lanjutnya, potensi kecurangan diperparah oleh beberapa lembaga survey yang seakan–akan melegitimasi kecurangan dengan mengeluarkan hasil Quick Count, dengan sampling yang sangat kecil dan tidak mencapai angka 1% dari total TPS se-Indonesia.
Hasil Quick Count itu dimanfaatkan untuk merumuskan kecurangan yang sistematis, terbukti dengan metode input data yang penuh dengan kecurangan yang terjadi di Laman Website KPU. Data yang diinput mengalami perubahan, tidak sesuai dengan data C1 yang ada dilapangan.
Bahkan terjadi pemutarbalikkan fakta dan data hasil pemilu yang menguntungkan calon presiden tertentu. KPU tidak pernah mau membuka diri untuk diprotes dan mengoreksi diri dari kesalahan, justru proses input data tersebut semakin bertambah.
Atas dasar fakta di atas pihaknya menyatakan sikap;
1). Meminta KPU segera hentikan segala kecurangan terkait hasil perolehan suara
2). Hentikan pengumuman real count yang kemudian di sosialisasikan di berbagai media partner KPU di saluran informasi media TV, Elektronik dll, yang sehingga menimbulkan dampak negatif pada psikologis dan sosial masyarakat. Mengingat dalam UU KPU telah diatur bahwa perhitungan suara yang sah adalah melewati perhitungan secara manual.
3). Segera lakukan forensik digital yang diduga ada rekayasa dalam sistem IT.
4). Ganti dan periksa semua komisioner KPU dan segera bentuk team indrpendent untuk proses perhitungan suara dan perbaikan segala sistem terkàit pelaksanaan KPU.
5). Segera periksa KPU terkait anggaran yang kami duga terjadi penyelewengan uang rakyat untuk penyelenggaran Pemilu 2019.