Telusur.co.id - Karut-marut penyelenggaraan Pemilu 2019 di luar negeri dinilai lebih disebabkan oleh manajemen penyelenggara pemilu yang kurang baik. Ada peraturan KPU yang kurang jelas sehingga diterjemahkan secara berbeda-beda.

Hal itu disampaikan Pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam dalam diskusi publik bertajuk ‘Evaluasi Pelaksanaan Kampanye Dalam Mewujudkan Pemilu 2019 yang Aman, Jujur, Adil, Demokratis dan Bermartabat’ yang digelar di kawasan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Senin (15/4/19).

“Saya melihat bahwa persoalan seperti ini berawal dari manajemen penyelenggara pemilu yang kurang bagus, dan ini menurut saya sesuatu yang sangat buruk,” ujar Hikam.

Artinya, kata dia, yang paling bertanggungjawab atas hal tersebut adalah penyelenggara pemilu, baik yang ada di pusat maupun petugas setemoat.

Menurutnya, para penyelenggara pemilu telah dibentuk sejak jaman orde baru, namun setelah bangsa ini memasuki era demokrasi, tidak ada perbaikan yang berarti dari manajemen penyelenggara pemilu.

“Karena pemilu di Indonesia bukan baru sekali atau kaget-kaget kan. Sejak zaman orde baru walaupun kita anggap pemilunya tidak fair dan sebagainya itu, yang namanya penyelenggara pemilu itu kan sudah ada, dan ada juga pemilu yang di luar negeri, tapi kok semakin kesini, semakin demokratis, kok semakin tidak bagus,” ungkapnya.

Kekacauan manajemen penyelenggara Pemilu yang dimaksud Hikam adalah salah satunya terkait formulir A5, yakni formulir untuk pindah memilih. Dia mencontohkan eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dipersulit mencoblos di Osaka, Jepang. 

“Ahok itu adalah representasi dari confusion atau kegalauan, kebingungan menterjemahkan dari masalah itu. Beliau sudah 3 bulan sebelumnya sudah mendaftar bahwa akan pindah ke Osaka untuk memilih, nomornya aja beliau udah tahu, nomor 8 katanya kan, tapi begitu di sana diharuskan menunggu sampai terakhir,” tukas dia.

Lebih lanjut, mantan Menristek era presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) itu mengungkapkan, antusiasme masyarakat untuk mengikuti pemilu jangan dijadikan alasan atas munculnya berbagai persoalan di pesta demokrasi lima tahunan ini.

“Bisa saja secara positif dikatakan karena antusiasme para pemilih lebih besar, lebih hebat, sehingga demokrasi juga semakin vibrant, tapi seharusnya logic yang sama harus digunakan untuk para penyelenggara pemilu bahwa mereka juga makin memperbaiki, karena setiap lima tahun sekali pasti ada perubahan,” tegasnya.

Apalagi, lanjut Hikam, untuk kali pertamanya di Indonesia digelar pemilu serentak, yakni pileg dan pilpres, sehingga seharusnya penyelenggara pemilu juga lebih siap untuk menghadapi perubahan ini.

“Tahun ini adalah perubahan yang tidak terjadi sebelumnya, yaitu bahwa ada Pileg dan Pilpres yang menjadi satu. Walaupun di luar negeri memang ya khusus untuk DKI saja. Tetapi tetap saja sama, yaitu ini memiliki suatu perubahan di dalam manajemen penyelenggara pemilu,” pungkas Hikam.

Seperti diketahui, karut marut Pemilu 2019 terjadi di sejumlah negara, seperti di Sydney (Australia), Malaysia, Belanda dan Jepang.

Di Sydney, sejumlah warga negara Indonesia (WNI) mengeluhkan tak dapat menyalurkan hak pilihnya, meski telah mengantre berjam-jam karena TPS sudah ditutup. Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Sydney dilaporkan kelabakan menampung jumlah pemilih yang mengantre untuk mencoblos di ajang Pemilu 2019.

Hal sama terjadi di tiga TPS di Malaysia. Yakni di KBRI Kuala Lumpur Tun Razak, Sekolah Indonesia Kuala Lumpur di Jalan Tun Ismail dan Wisma Duta di Jalan U Thant. Tiga TPS yang dibuka PPLN Kuala Lumpur tidak sanggup menampung jumlah pemilih yang membludak.

Selanjutnya, permasalahan terjadi pada pemungutan suara melalui metode pos di Belanda. Dari jumlah total 2.044 surat suara pemilih yang sudah dikirim ke Warga Indonesia di Belanda, banyak yang tidak kembali ke PPLN. Surat suara yang sudah dicoblos justru kembali ke alamat si pengirim.

Kekacauan proses pemungutan suara juga terjadi di Jepang. Dalam sebuah video yang viral di medsos, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau BTP, terlibat perdebatan sengit dengan petugas PPLN di salah satu TPS di Osaka, Jepang.

Dalam keterangannya di video viral lain, BTP menyebut ada oknum yang berusaha mengerjainya agar tidak dapat menyalurkan hak pilih. Padahal, dirinya mengaku telah mendapatkan dokumen perpindahan DPT.[Gus]