telusur.co.id - Koalisi Orang Muda dan Masyarakat Sipil Jakarta mengecam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) tertutup, tidak transparan dan minim partisipasi publik. 

Koordinator Kopel Jabodetabek Anwar Razak, menyoroti minimnya transparansi dalam proses pembahasan RUU DKJ. Dimana, kanal informasi dan partisipasi di web DPR tidak difungsikan. 

"Masyarakat tidak diberi akses untuk mengetahui perkembangan pembahasan RUU,” Anwar dalam keterangannya, Sabtu (23/3/24).

Sementara itu, Elizabeth Kusrini dari Indonesia Budget Center menambahkan, RUU DKJ masih memiliki banyak pasal bermasalah yang berpotensi melemahkan demokrasi dan memicu pemborosan anggaran.

Adapun poin krusial yang disorot yaitu pasal tentang penunjukan dan pemberhentian gubernur oleh presiden sudah dihapus, namun digantikan dengan pemilihan langsung. Hal ini dikhawatirkan akan memicu politik uang dan oligarki. 

Kemudian, pasal tentang pemberian kewenangan wapres untuk pengelolaan kawasan aglomerasi sudah dihapus, namun diganti dengan kalimat "presiden dapat menunjuk wapres". 

"Pasal ini masih berpotensi menjadi pasal bagi-bagi kekuasaan," tegasnya. 

Berikutnya, pasal tentang pembentukan dewan kota di kabupaten/kota, tidak memiliki prosedur pemilihan dan cantolan UU, berpotensi menjadi lahan politik baru di luar mekanisme pemilihan yang sudah ada.

"Dewan kota tidak akan efektif bekerja karena di-SK-kan oleh Gubernur. Hanya akan menjadi lembaga penampung dan penyampai aspirasi dan tidak mempunyai kekuatan politik. Dewan kota berpotensi hanya menghabiskan uang APBD dan kerja tak ada hasil," ucapnya. 

Lalu, lembaga musyawarah kelurahan (LMK) yang akan dibentuk lewat SK bupati/walikota tidak akan berjalan efektif. "Bekerja tapi tak ada hasil dan sekedar penampung dan penyampai aspirasi dan tidak bergigi serta berpotensi memboroskan APBD. Estimasi pemborosan 250 miliar per tahun," ungkapnya. 

Selain itu, fungsi dewan kota/kabupaten dan LMK tak memiliki relevansi kerja dengan kekhususan yang diberi pada Jakarta sebagaimana disebut dalam konsideran RUU. 

"Konsep aglomerasi dalam RUU tidak mencerminkan pengaturan Jakarta dan daerah gugus sebagai kawasan ekonomi dan kota global. Aspek penyediaan sarana, pemberdayaan, perlindungan, dan partisipasi publik dalam konteks aglomerasi tidak diatur dalam RUU," tegasnya. 

Atas dasar itu, Koalisi Orang Muda dan Masyarakat Sipil Jakarta Kawal RUU DKJ, yang terdiri dari SPRI, IBC, KOPEL Jabodetabek, GUSDURIAN Jakarta, KBKJ67, FILEM, Senja, REDI Jakarta, YMM dan KPP Petamburan merekomendasikan kepada DPR menunda pembahasan RUU DKJ dan membuka ruang partisipasi publik yang seluas-luasnya dan melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pakar dalam pembahasan RUU DKJ. 

RUU DKJ harus dikaji ulang secara komprehensif untuk memastikan terciptanya tata kelola pemerintahan yang demokratis, akuntabel, dan berkelanjutan di Jakarta. 

Koalisi Warga Kawal RUU DKJ memastikan akan terus mengawal proses pembahasan RUU DKJ dan memastikan agar aspirasi publik didengar dan diakomodasi. [Fhr]