telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Sebuah Puisi Esai Tentang Bencana Sumatra dan Problem Ekologis
(Di Sumatera Barat, seorang ibu memeluk anaknya di arus banjir. Ia nyaris menyerah pada maut). [1]
“Ya, Tuhan,
aku menyerah.
Arus ini terlalu kuat.
Aku ikhlas hanyut dan mati,
asal anakku selamat.”
Kalimat itu Lina ucapkan
bukan dengan suara,
melainkan dengan sisa napas
yang bergoyang
seperti lampu minyak
di tengah angin.
Langit runtuh.
Bukan gelap malam,
melainkan gelap
yang memadamkan alamat,
tempat orang tak tahu
harus pulang ke siapa.
Hujan turun sebagai pukulan,
pantul-memantul
dengan jerit anaknya yang enam tahun,
yang belum hafal dunia
selain tangan ibunya.
“Ibu…
aku takut…
dingin sekali, Bu…”
Suara itu kecil,
namun di dada Lina
ia membesar
menjadi lonceng darurat.
Mereka berlari sepuluh meter.
Hanya sepuluh.
Namun jarak itu
memisahkan
masih bernapas
dari tak sempat berdoa.
Lalu air bah datang
bagai pintu yang dibanting.
Tangan mereka terlepas.
Dan di situlah,
pelukan menggantikan pegangan.
Bukan pelukan hangat,
melainkan pelukan yang menjelma:
menjadi dinding,
menjadi pagar,
menjadi janji sunyi
antara ibu
dan maut.
Pada detik itu,
Lina tak lagi tahu
mana tubuhnya,
mana tubuh anaknya.
Yang ia tahu hanya
detak kecil di dadanya,
detak yang memanggil hidup
tanpa bahasa.
Air menyeret mereka
bagai kalimat panjang
yang lupa di mana harus berhenti.
Benda-benda melintas:
kayu,
batu,
sisa rumah orang lain,
menghantam punggung Lina,
menjadi satu pertanyaan:
Seberapa jauh
seorang ibu
bisa menjadi bendungan?
“Ibu…
dingin…
aku takut…”
Kalimat itu
menempel di telinganya
lebih kuat
daripada arus.
“Allah… Allah…”
Lina mengucapnya
seperti orang tenggelam
memegang satu huruf
agar tak karam
di seluruh alfabet bencana.
Ia teringat bukit-bukit
yang berdiri telanjang.
Akar-akar dicabut
menjadi jari yang dipecat
dari tugas
menggenggam tanah.
Hutan yang dulu menahan air
dibujuk pergi oleh janji pembangunan,
yang panennya lebih cepat
daripada pohon.
Seorang petani tua berkata lirih:
“Dulu banjir naik pelan.
Sekarang datang
bagai orang marah.”
Tanah kehilangan ingatan
cara memeluk hujan.
Air pun turun
tanpa sopan santun,
tanpa musyawarah.
Yang pertama datang membantu adalah tetangga,
dengan tali jemuran dan doa
yang basah.
Pemuda masjid membawa senter yang nyaris padam.
Ibu-ibu membuka dapur
dengan air mata.
Di layar ponsel tetangga,
kabar mengalir lebih cepat dari arus:
wajah pejabat tersenyum,
di antara batu hitam dan kain ihram,
memilih tinggalkan tugas, untuk umroh.
Sementara nama kampung
hanya menjadi tagar
yang mudah digulir ke atas.
Di rumah yang tinggal separuh,
warga menghitung selimut dan nasi bungkus,
sementara di ruang berpendingin
seorang pejabat menghitung foto kunjungan dan jumlah mikrofon di meja rapat.
Pagi datang juga,
membawa langit yang pura-pura biasa.
Di antara sisa lumpur di teras,
sepasang sandal kecil
terbalik menjadi pertanyaan
yang belum sempat dijawab.
“Banjir akan surut,”
kata orang.
Di malam-malam sesudahnya,
setiap petir mengetuk jendela
menjadi tamu yang pernah
hampir membawa mereka hanyut.
Anak itu meraba selimut,
mencari lipatan baju ibunya,
seakan di sana
tersimpan pintu kecil
untuk keluar dari air.
Lina menatap anaknya
yang selamat.
Ia tahu: hari itu ia bukan hanya melawan air,
ia sedang menjaga agar kasih
tidak ikut hanyut.
Dan berapa banyak pelukan
harus menjadi bendungan
sebelum kita belajar
menanam pohon kembali
yang telah kita cabut
dengan tangan sendiri?***
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan Ketua Umum Satupena, Penulis Buku, dan Komisaris Utama PT. Pertamina Hulu Energi (PHE).
CATATAN
(1) Dramatisasi dari kisah ibu dan anak yang terus berpelukan melawan banjir di Sumatera Barat.



