MPR Soroti Implikasi Pemisahan Pemilu, Tegaskan Komitmen Jaga Arah Reformasi Konstitusi - Telusur

MPR Soroti Implikasi Pemisahan Pemilu, Tegaskan Komitmen Jaga Arah Reformasi Konstitusi


telusur.co.id - Pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 12/PUU-XXII/2024 menuai perhatian serius dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sekretaris Fraksi PKS MPR RI, Johan Rosihan, menilai bahwa keputusan tersebut bukan sekadar perubahan teknis, melainkan membawa dampak sistemik terhadap arah demokrasi dan ketatanegaraan Indonesia ke depan.

 

“Ini adalah momen penting dalam sejarah demokrasi kita. Pemilu dua tahap menuntut kesiapan serius dari negara, partai politik, dan masyarakat,” ujar Johan dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis (10/7/2025).

 

Menurut Johan, pemisahan jadwal pemilu berpotensi memperpanjang suhu politik nasional, meningkatkan beban anggaran, serta menciptakan fragmentasi demokrasi jika tidak diantisipasi dengan matang. Ia juga mengingatkan akan risiko menurunnya partisipasi pemilih dan meningkatnya polarisasi akibat jeda waktu antarpemilu.

 

Dalam situasi ini, lanjut Johan, MPR memiliki peran strategis sebagai penjaga arah reformasi konstitusi. “MPR tidak boleh hanya menjadi penonton perubahan, tapi harus hadir sebagai pengawal nilai dan semangat reformasi. Tugas ini sangat penting untuk memastikan demokrasi tetap berada dalam rel kerakyatan,” tegasnya.

 

Johan menyampaikan pentingnya MPR menjadi fasilitator dialog konstitusional lintas lembaga, termasuk antara penyelenggara pemilu, DPR, DPD, pemerintah, partai politik, hingga masyarakat sipil. Tujuannya adalah membangun konsensus nilai dalam menyongsong pemilu dengan desain baru.

 

Ia juga menilai percepatan revisi Undang-Undang Pemilu sebagai langkah mendesak. “Meski tidak memiliki fungsi legislasi langsung, MPR dapat memberi rekomendasi kuat agar sistem kepemiluan tidak ditangani secara tambal sulam, tapi secara struktural dan terencana,” katanya.

 

Johan mengingatkan, ketidaksinkronan jadwal antara pemilu nasional dan daerah dapat menimbulkan dualisme arah kebijakan. Hal ini dinilai berisiko terhadap konsistensi pelaksanaan program-program strategis nasional di daerah.

 

*Momentum Reformasi Konstitusi*

 

Lebih jauh, Johan mendorong agar putusan MK ini menjadi pijakan untuk merumuskan arah baru reformasi konstitusi yang lebih menyeluruh. Ia menekankan bahwa reformasi bukan sekadar amendemen pasal, tetapi pembenahan sistem politik, hukum, dan kelembagaan secara utuh.

 

Ia menyarankan agar arsitektur kelembagaan pemilu dievaluasi menyeluruh agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Dalam konteks ini, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dinilai bisa menjadi panduan penting dalam menyatukan visi pembangunan pusat dan daerah.

 

“Demokrasi tidak boleh menjadi ajang kontestasi tanpa nilai. Kita perlu memperkuat demokrasi substansial yang berpijak pada partisipasi bermakna dan keadilan elektoral,” tambahnya.

 

Menurut Johan, MPR sebagai rumah kebangsaan memiliki tanggung jawab moral untuk memfasilitasi reformasi konstitusi secara deliberatif dan inklusif. Ia berharap reformasi tidak hanya menjadi agenda elite, tetapi gerakan kolektif seluruh elemen bangsa.

 

“Dengan kepemimpinan kolektif dan legitimasi moral yang kuat, MPR dapat menjadi pilar utama dalam menjaga arah demokrasi Indonesia tetap berada di jalur yang konstitusional dan berkeadaban,” pungkasnya.


Tinggalkan Komentar