Ombudsman Bongkar 3 Dugaan Maladministrasi BPJS Ketenagakerjaan, Apa Saja? - Telusur

Ombudsman Bongkar 3 Dugaan Maladministrasi BPJS Ketenagakerjaan, Apa Saja?

Kantor BPJS Ketenagakerjaan

telusur.co.id - Anggota Ombudsman RI Hery Susanto mengatakan pihaknya menemukan tiga bentuk dugaan maladministrasi dalam pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. 

Hasil investigasi atas prakarsa sendiri Ombudsman tersebut bermula dari munculnya kasus-kasus klaim layanan BPJS Ketenagakerjaan, terkait program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), dan Jaminan Pensiun.

Ombudsman dalam investigasi itu mendapati masyarakat mengeluhkan kesulitan proses pencairan klaim JHT, JKm, dan JKK. Hal ini menunjukkan masih ada gap antara BPJS Ketenagakerjaan dengna peserta.

"Kami menyimpulkan bahwa dalam pelaksanaan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan ini terbukti ada maladministrasi," kata Hery dalam konferensi pers, Rabu (6/7/22).

Tiga bentuk maladministrasi pelayanan itu adalah: tindakan tidak kompeten, penyimpangan prosedur, dan penundaan berlarut dalam proses pelayanan klaim di BPJS Ketenagakerjaan.

Hery menerangkan, salah satu bentuk maladministrasi BPJS Ketenagakerjaan adalah akuisisi kepesertaan penerima upah (PU) dan bukan penerima upah (BPU) yang tidak berjalan optimal. 

BPJS Ketenagakerjaan juga dinilai tak optimal mengawal pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Menurut Hery, dengan jumlah pengawas ketenagakerjaan di lingkup Kementerian Ketenagakerjaan yang sangat terbatas dan hanya di level provinsi, berdampak pada lemahnya pengawasan dan penanganan pengaduan masyarakat.

"Ini mengakibatkan rendahnya  kepatuhan perusahaan dalam mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan," kata Hery. "Problem ini harus diselesaikan dengan perbaikan regulasi terkait." 

Selain itu, Ombudsman menilai harus ada perbaikan kualitas SDM BPJS Ketenagakerjaan dalam hal rekrutmen peserta dan pelayanan kepesertaan.

Ombudsman juga menemukan tidak adanya akuntabilitas oleh BPJS Ketenagakerjaan kepada agen perisai, pencairan klaim secara kolektif melalui HRD perusahaan, serta perbedaan penetapan usia pensiun antara perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Tak hanya itu, BPJS Ketenagakerjaan juga belaum menyelaraskan regulasi untuk optimalisasi akuisisi kepesertaan dan pelayanan klaim manfaat. "Terkait klaim secara kolektif ini dapat menimbulkan celah yang dapat dimanfaatkan oknum. Padahal hubungan kepesertaan adalah antara kedua belah pihak yaitu antara pihak BPJS Ketenagakerjaan dengan peserta, maka proses klaim seharusnya dilakukan oleh kedua belah pihak," tutur Hery.

Ada juga bentuk maladministrasi penundaan berlarut yang ditemukan Ombudsman yakni pelayanan pencairan klaim manfaat JHT dan JKm yang masih terjadi hambatan.

Dari sejumlah hasil investigasi itu, Ombudsman merekomendasikan tindakan korektif yang harus dilaksanakan oleh direktur utama BPJS Ketenagakerjaan sebagai pihak terlapor dalam kurun waktu 30 hari mendatang.

Pertama, agar dirut BPJS Kenetagakerjaan melakukan sosialisasi, koordinasi dengan pihak terkait dalam rangka percepatan akuisisi kepesertaan pada sektor PU, BPU, pegawai pemerintah non-ASN dan termasuk program afirmasi penerima bantuan iuran (PBI), dengan menyusun rencana dan penahapan akuisisi kepesertaan.

Kedua, agar menyiapkan struktur organisasi kerja dan SDM yang memadai dari segi kualitas dan kuantitas untuk mendukung terselenggaranya program yang diamanatkan oleh regulasi termasuk dalam merespons tuntutan pelayanan kepesertaan dan penjaminan sosial.

Ketiga, agar berkoordinasi dengan pihak pemerintah, pelaku usaha dan pekerja dalam hal penetapan batas usia pensiun agar dibuat regulasi dan ketetapan yang relevan mengenai batas usia penerima manfaat JHT.[Fhr]


Tinggalkan Komentar